03Feb
Ketentuan multitafsir di dalam UU Advokat merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional advokat dalam menjalankan profesinya. Hal tersebut telah menjadi sumber perseteruan antar organisasi advokat selama puluhan tahun hingga detik ini dan telah membawa kerugian tidak hanya kepada para advokat saja, tetapi juga terhadap para pencari keadilan (justitiabelen) dan terhadap upaya penegakan hukum secara keseluruhan bagi masyarakat.
Sebelumnya pada tahun 2010, sekelompok advokat yang terdiri dari penulis sendiri, (Alm) Bob P. Nainggolan, Maruli Simorangkir, Murad Harahap, Lelyana Santosa, Nursyahbani Katjasungkana, David Abraham, Firman Wijaya, dan SF. Marbun, telah berjuang melalui permohonan Uji Materiil (materiële toetsingrecht) ketentuan UU Advokat terhadap batu uji UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi RI, dengan nomor registerasi perkara No. 66/PUU-VIII/2010 (“Perkara Nomor 66”).
Permohonan uji materiil ini ini mempersoalkan banyak hal terkait profesi advokat, dimulai dari hak berserikat advokat, sebagai hak khusus dari profesi bebas (free legal profession) advokat yang berbeda dengan penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim yang tidak boleh dibatasi kecuali oleh keputusan para advokat itu sendiri melalui kongres advokat yang demokratis, sampai dengan ketentuan multitafsir UU Advokat yang pada faktanya tidak menyebutkan secara spesifik Indonesia hanya memiliki satu organisasi advokat.
Khusus terkait bentuk wadah tunggal, jika mempelajari sejarah organisasi profesi advokat di Indonesia yang secara mendalam, maka dapat ditarik kesimpulan di mana konsep wadah tunggal memang tidak pernah sesuai diterapkan di negara ini, karena secara alamiah (naturally created condition) sejak tahun 1960-an organisasi advokat di Indonesia menganut multi bar association. Konsep wadah tunggal pertama kali dicetuskan oleh Menteri Kehakiman Ali Said diakhir tahun 1970-an di hadapan Ketua Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) waktu itu Suardi Tasrif.
Meskipun begitu pemaksaan ide wadah tunggal serentak ditentang oleh seluruh advokat PERADIN dan bertentangan dengan aspirasi advokat Indonesia kala itu, mengingat secara historis organisasi advokat sejak dulu memang multi bar. Hal tersebut karena ide apapun mengenai advokat harus datang dari bawah (bottom-up) melalui Kongres Advokat dan harus dilakukan secara demokratis (one man one vote).
Pemerintah Orba menginginkan masing-masing profesi hanya memiliki satu organsiasi seperti organisasi buruh, wartawan, advokat, dan lain-lain agar mudah diawasi dan dikontrol. Tentunya ini bertentangan dengan hak berserikat yang dijamin dalam Pasal 28e ayat (3) UUD 1945 dan khususnya hak berserikat advokat yang secara lex spesialis diatur dalam tiga instrumen internasional. Jadi, wadah tunggal organisasi advokat itu dibuat dengan tanpa persetujuan seluruh advokat kala itu.
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat itu sendiri bersifat multitafsir yang dapat ditafsirkan sebagai wadah tunggal (single bar association) atau sebagai federasi (federation of bar association). Ketidakjelasan rumusan “organisasi profesi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi” ini telah menyebabkanisu konstitusionalitas UU Advokat, khususnya Pasal 28 ayat (1) UU Advokat dan menjadi isu untuk dikaji secara materiil oleh Mahkamah Konstitusi c.q. Pasal 28D UUD 1945 karena negara wajib menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid/ legal certainty).
For more Articles, Please click link below:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e379672d3552/wadah-tunggal-organisasi-advokat-sudah-tidak-realistis-oleh--frans-h-winarta/