News

05Aug

Upaya Pencegahan Pencucian Uang Melalui Profesi Hukum

laws, government, economic, political

Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan PP No. 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“PP No 43/2015”) yang ditandatangani pada tanggal 23 Juni 2015 sebagai pelaksanaan ketentuan UU TPPU.

Dalam PP No 43/2015 ini, profesi advokat digolongkan sebagai pihak pelapor yang wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Disahkannya PP ini mengakibatkan adanya kewajiban advokat untuk melaporkan kepada PPATK terkait posisi hukum kliennya. Terutama jika klien advokat yang bersangkutan dipancing untuk melakukan money laundering dalam transaksi tertentu atau klien tersebut memiliki potensi untuk dilibatkan dalam suatu kejahatan money laundering.

Padahal dalam prinsip lawyer-client privilege yang dikenal secara internasional, advokat tidak boleh menyampaikan hal-hal yang dianggap rahasia (confidential) kecuali atas ijin atau perintah kliennya. Apalagi penunjukkan advokat oleh klien disebabkan karena adanya kepercayaan (trust) klien kepada advokat yang dijamin undang-undang. Aturan International Bar Association (IBA) bahkan menyebutkan bahwa seorang advokat tidak boleh membuka rahasia klien kecuali ditentukan lain oleh pengadilan. Oleh karena itu, kerahasiaan klien harus tetap dipegang teguh advokat pada saat dia memberikan jasa hukum kepada kliennya pun sampai dengan saat dirinya sudah tidak menjalankan tugasnya lagi.

IBA Anti-Money Laundering Forum yang berjudul “IBA and Money Laundering” juga menyebutkan bahwa tidaklah profesional apabila pencucian uang (money laundering) menyertakan profesi hukum seperti advokat sebagai pihak pelapor karena hal itu bertentangan dengan prinsip lawyer-client privilege. Tugas advokat adalah membela kepentingan klien dan bukan menyelidiki atau menyidik klien. Persis seperti yang pernah disebutkan oleh Gaselee J.: “…the first duty of an attorney is to keep the secrets of his client…”

Bagaimanapun keadaan dan fakta yang didapat advokat dari kliennya dalam mengurus kepentingan klien, tidak ada yang boleh merugikan klien kecuali untuk tujuan pencegahan klien terperangkap dalam suatu kejahatan c.q. pencucian uang. Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF), dalam salah satu poinnya menyatakan bahwa profesi hukum seperti advokat atau notaris tidak diwajibkan untuk melaporkan dugaan-dugaan tertentu jika terdapat kerahasiaan profesi atau lawyer-client privilege. Dasar lawyer-client privilege ini tentunya sangatlah kuat untuk menolak adanya ketentuan dalam PP No 43/2015 yang menjadikan advokat sebagai pihak pelapor dalam dugaan TPPU kliennya.

Bahkan dalam UU Advokat pun, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa seorang advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Oleh karena itu, mestinya, kekecualian dari aturan kerahasiaan advokat tidak bisa hanya diatur melalui PP saja. Sebaiknya, sesuai dengan yang disebutkan dengan jelas dalam UU Advokat, kekecualian tersebut diatur secara terperinci di dalam undang-undang demi kepastian hukum bagi semua pihak terutama profesi hukum advokat dan bukan sekedar dengan PP yang tingkatnya lebih rendah dari undang-undang.

Advokat Bukan Penegak Hukum

Selain ketentuan pihak pelapor dalam PP No 43/2015 yang bertentangan dengan tugas dan fungsi advokat, di sisi lain, ada juga pasal dalam UU Advokat saat ini yang bertentangan dengan tugas dan fungsi advokat yang seharusnya. Pasal tersebut adalah yang menyebutkan advokat sebagai penegak hukum, di mana dengan adanya ketentuan sebagai penegak hukum maka menimbulkan kewajiban bagi seorang advokat untuk wajib melaporkan kejahatan yang dilakukan kliennya. Padahal tugas advokat adalah membela klien dan penyelidikan atau penyidikan adalah tugas polisi dan jaksa. Advokat bukanlah merupakan bagian dari administrasi peradilan, namun tetap menghormati dan memberikan respek terhadap pengadilan sesuai dengan tanggung jawab profesinya.

Tertera dengan gambling dalam Pasal 1 dari United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials bahwa penegak hukum memiliki police power yaitu hak untuk menangkap (right to arrest) dan hak menahan (right to detain).  Sudah jelas bahwa fungsi penegak hukum selaku law enforcement officials adalah untuk melakukan pemeriksaan, interogasi, penangkapan, penahanan, penyidikan, pendakwaan dan penuntutan.

Pendek kata, UU Advokat yang sekarang perlu segera diamandemen agar tidak menyulitkan posisi advokat, di mana advokat tidak seharusnya menyandang status sebagai pihak pelapor bagi klien terkait dengan kerahasiaan yang dimilikinya dengan klien. Dan juga status advokat bukanlah sebagai penegak hukum (law enforcement official), melainkan legal profesi (legal profession), di mana fungsi dari keduanya benar-benar berbeda, bahkan berseberangan.

Semoga kekeliruan yang terjadi selama ini dapat segera dibenahi sehingga aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dapat mendukung dan bukannya membatasi dan menghambat independensi advokat dalam melaksanakan profesinya.

Written by Frans Winarta

<< Back

Close

Search