25Oct
Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja melalui beberapa peraturan, yang salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP No. 35/2021). Terbitnya peraturan pelaksana tersebut adalah untuk menindaklanjuti amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), terkhusus pada cluster Ketenagakerjaan. Dalam PP No. 35/2021 tersebut, terdapat cukup banyak perubahan-perubahan yang signifikan, salah satunya yang berkaitan dengan ketentuan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Perubahan ketentuan tersebut tidak dapat semata-mata dilihat sebagai suatu perubahan yang menguntungkan pihak tertentu saja, dalam hal ini pihak pengusaha atau pemberi kerja, dan pihak buruh atau pekerja. Melainkan harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas, terutama dari segi kepastian hukum, yang menjadi salah satu indikator dari kemudahan berinvestasi, yang menjadi pendorong utama diterbitkannya UU Cipta Kerja serta peraturan turunannya tersebut.
Melalui artikel ini, Penulis akan mengupas sekaligus menganalisa aspek kepastian hukum dalam UU Cipta Kerja, dengan berangkat dari perubahan-perubahan yang terjadi terhadap ketentuan dan pelaksanaan PKWT. Tentu, hal ini erat kaitannya dengan diterbitkannya UU Cipta Kerja dan PP No. 35/2021 tersebut.
Limitasi Jenis Pekerjaan yang Dapat Didasarkan pada PKWT
Pengertian PKWT menurut Pasal 1 Angka 10 PP No. 35/2021 adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan Hubungan Kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa unsur penting dari PKWT yang membedakan dengan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah adanya suatu jangka waktu tertentu, dan/atau suatu pekerjaan tertentu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, yaitu pekerjaan yang berdasarkan pada jangka waktu tertentu, atau pekerjaan yang berdasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tersebut.
Kemudian di dalam Pasal 5 Ayat (1) jo. Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 PP No. 35/2021, lebih lanjut mengatur mengenai jangka waktu tertentu sebagai syarat digunakannya PKWT dalam suatu hubungan kerja. Syarat tersebut antara lain; pekerjaan yang selesai dalam waktu paling lama lima tahun, pekerjaan yang hanya dapat dilakukan pada musim atau cuaca tertentu, atau pekerjaan yang adalah merupakan pekerjaan tambahan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu. Sedangkan di dalam Pasal 5 Ayat (2) jo. Pasal 9 PP No. 35/2021 diatur mengenai selesainya suatu pekerjaan tertentu, yang didasarkan pada kesepakatan di antara Pemberi Kerja dengan Pekerja.
Jika dibandingkan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 5 hingga Pasal 9 PP No. 35/2021 tersebut memberikan batasan yang lebih tegas mengenai jenis-jenis pekerjaan apa saja yang dapat menggunakan PKWT sebagai perjanjian kerja antara Pemberi Kerja dengan Pekerja. Apabila di dalam UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan mengenai selesainya suatu pekerjaan tertentu tanpa menyebutkan batasan spesifik, maka di dalam UU Cipta Kerja jo. PP No. 35/2021 tersebut, diatur dengan lebih tegas mengenai selesainya suatu pekerjaan tertentu, yaitu dengan jangka waktu yang diatur di dalam perjanjian kerja. Hal ini tertuang dalam frasa ‘didasarkan atas kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja’ yang dicantumkan di dalam Pasal 9 Ayat (1) PP No. 35/2021 tersebut.
Frasa ‘kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja’ tersebut pun dipertajam di dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (2) PP No. 35/2021. Frasa tersebut memberikan kriteria bahwa kesepakatan sebagaimana dimaksud harus memuat, i). ruang lingkup dan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai; dan ii). lamanya waktu penyelesaian pekerjaan yang disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan.
Penegasan tersebut memberikan suatu kepastian hukum, yang tidak dijumpai di dalam UU Ketenagakerjaan. Baik bagi pemberi kerja maupun pekerja yang terikat dalam suatu hubungan kerja berdasarkan PKWT, yang bergantung pada selesainya suatu pekerjaan tertentu. Dengan diterbitkannya UU Cipta Kerja jo. PP No. 35/2021 ini, maka para pihak wajib untuk menentukan terlebih dahulu mengenai ruang lingkup dan batasan bilamana suatu pekerjaan dianggap selesai.
Ketidakpastian Hukum dalam UU No. 11/2020 dan PP No. 35/2021
Merujuk pada karakteristik dari PKWT yang pada dasarnya adalah merupakan kontrak yang bersifat sementara, terdapat potensi untuk terjadinya pengakhiran terlebih dahulu terhadap PKWT tersebut sebelum masa berlakunya habis, baik yang diinisiasi oleh Pemberi Kerja, ataupun diinisiasi oleh Pekerja.
Untuk mengurangi potensi pengakhiran dini terhadap PKWT tersebut, di dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan diatur bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya masa berlaku PKWT, diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja tersebut hingga batas waktu berakhirnya PKWT. Adanya ketentuan tersebut, sedikit banyak membuat para pihak sedikit berpikir ulang sebelum melakukan pengakhiran dini terhadap PKWT, mengingat terdapat sanksi berupa denda yang harus dibayarkan oleh pihak yang mengakhiri tersebut.
Namun demikian, ketentuan tersebut diubah di dalam PP No. 35/2021, bahwa Pemberi Kerja diwajibkan untuk memberikan uang kompensasi kepada Pekerja yang hubungan kerjanya berakhir berdasarkan PKWT. Lebih lanjut, kewajiban mengenai pemberian kompensasi berdasarkan Pasal 15 Ayat (1) PP No. 35/2021 tersebut dipertajam di dalam Pasal 17 PP No. 35/2021 yang mengatur bahwa Pemberi Kerja wajib untuk memberikan uang kompensasi kepada Pekerja, tanpa melihat pihak mana yang menginisiasi pengakhiran dini atas hubungan kerja tersebut.
Ketentuan di dalam Pasal 17 PP No. 35/2021 menyebutkan ‘Dalam hal salah satu pihak mengakhiri Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan di dalam PKWT…’, sehingga inisiator pengakhiran hubungan kerja sebelum berakhirnya PKWT tersebut dapat berasal dari Pemberi Kerja maupun Pekerja itu sendiri. Lebih lanjut, di dalam frasa ‘Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1)…’ kewajiban pembayaran kompensasi berada pada pihak Pemberi Kerja saja, tanpa memandang siapa pihak yang menginisiasi pengakhiran hubungan kerja tersebut. Padahal di dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan, kewajiban pembayaran kompensasi berada pada pihak yang menginisiasi pengakhiran hubungan kerja sehingga menciptakan suatu keseimbangan dalam hubungan hukum di antara para pihak.
Lebih lanjut lagi, Pasal 15 Ayat (1) jo. 17 PP No. 35/2021 tersebut tidak hanya mengubah ketentuan mengenai pemberian kompensasi di dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, melainkan juga bersifat kontradiktif dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Ketenagakerjaan. Hal tersebut mengingat bahwa ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, bukan termasuk ketentuan yang dicabut berdasarkan UU Cipta Kerja. Sehingga, dari perspektif yuridis, seharusnya ketentuan di dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya masa berlaku PKWT diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja hingga batas waktu berakhirnya PKWT, masih berlaku.
Dalam hal ini, keberlakukan Pasal 15 Ayat (1) jo. Pasal 17 PP No. 35/2021 tersebut berpotensi menyebabkan kekisruhan. Mengingat bahwa sangat mungkin terjadi pertentangan dan perdebatan mengenai pembayaran kompensasi dan pembayaran ganti rugi, terutama apabila pihak Pekerja yang terlebih dahulu menginisiasi pengakhiran hubungan kerja. Apakah pihak Pekerja berkewajiban membayar ganti rugi sebagaimana diatur di dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan? Atau justru pihak Pekerja memperoleh kompensasi sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) jo. Pasal 17 PP No. 35/2021?
Selain itu, merujuk pada tata urutan peraturan perundang-undangan, ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan tersebut, hanya dapat dicabut dengan menggunakan undang-undang juga. Sehingga, keberlakuan PP No. 35/2021, yang secara tata urutan berada di bawah undang-undang, tidak dapat membatalkan keberlakuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan tersebut. Lagipula, dengan menggunakan adagium ‘lex superiori derogat legi inferiori’, atau undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi mengesampingkan keberlakukan undang-undang yang lebih rendah, maka ketentuan mengenai pembayaran ganti rugi yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan, seharusnya mengesampingkan ketentuan PP No. 35/2021 tersebut.
Pada akhirnya, penyusunan dan penerbitan UU Cipta Kerja serta seluruh peraturan pelaksanaannya diharapkan dapat menjadi suatu penawar untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya mengenai kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Sesuai dengan namanya, Cipta Kerja, tujuan dari diterbitkannya undang-undang ini adalah untuk mempermudah iklim investasi di Indonesia, salah satunya dengan memberikan suatu kepastian hukum, hingga akhirnya banyak pihak, terutama investor, yang memiliki harapan tinggi terhadap UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya sebagai solusi untuk memperbaiki carut marut dan ketidakpastian hukum serta memperbaiki proses kemudahan berusaha di Indonesia. UU Cipta Kerja dan seluruh peraturan pelaksanaannya seharusnya tidak menimbulkan permasalahan baru, terutama yang berkaitan dengan kepastian hukum, di masa yang akan datang.
Written by Ronald M. Honarto & Febri Indriyani Fasry
Published on https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt61761fb9000d6/tinjauan-hukum-perubahan-ketentuan-pkwt-dalam-turunan-uu-cipta-kerja/