22Sep
Kita masih melihat secara nyata praktik kapitalisme semu (ersatz capitalism) seperti yang diungkapkan Prof. Yoshihara Kunio dalam bukunya “The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia’, dimana pengusaha menyediakan dana untuk biaya politik dan keamanan sedangkan pemerintah (penguasa) menjamin keamanan dan aset (modal) para pengusaha. Di sini pengusaha tidak menjalankan bisnis berdasarkan profesionalisme. Sementara itu para penguasa masih saja melakukan bisnis disamping memegang jabatan yang penting dan menentukan dalam pemerintahan, sehingga dedikasi dan integritasnya bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara menjadi diragukan.
Dengan posisi seperti ini, apakah mungkin kita mengharapkan pemerintah membuat program yang berpihak kepada rakyat? Paket-paket stimulus ekonomi yang sudah dan akan dikeluarkan pemerintah Jokowi-JK belum menyentuh rakyat dibawah kecuali strata atas dan menengah atas. Belum ada tanda-tanda bahwa kebijakan stimulus ekonomi itu dapat menahan pengurangan dan pemecatan tenaga kerja (PHK massal), mengatasi pengangguran, mengentaskan kemiskinan, serta menghadapi pelemahan daya beli masyarakat. Hal ini akan menjadi semakin gawat jika tidak ada program-program yang ampuh untuk mengatasinya.
Kenapa tidak memanfaatkan potensi ekonomi rakyat seperti home industry, larangan impor mobil mewah dan barang-barang mewah yang menghabiskan devisa dan menyebabkan gap kaya dan miskin semakin melebar. Selain itu memanfaatkan upaya meningkatkan penghasilan dari sektor pariwisata dimana setiap daerah mempunyai potensi untuk menggenjot penghasilan daerah dari sektor pariwisata. Serta perlu dipikirkan upaya-upaya lain yang pro rakyat khususnya terhadap fakir miskin seperti menambah dana bantuan hukum sekitar 5-10% dalam APBN dan APBD untuk membela fakir miskin, petani, buruh, dan nelayan yang mengalami masalah hukum dan pemutusan hubungan kerja dan penggusuran dari tanah leluhurnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap masyarakat strata bawah diIndonesia.
Jika upaya-upaya tersebut tidak dilakukan, kelompok strata bawah yang frustrasi, kecewa dan tidak berdaya ditambah dengan kurangnya perhatian untuk memperoleh pembelaan hukum, sosial, ekonomi, dan politik akan memperparah keadaan dan merupakan bom waktu bagi pecahnya gejolak sosial (social upheaval). Kelompok strata bawah yang frustasi tersebut akan menjadi mudah diprovokasi untuk melakukan huru hara, protes sosial, tindakan radikal, ketidakpatuhan sosial, dan tindakan-tindakan minor lainnya. Contohnya: kasus penggusuran Kampung Pulo seharusnya memperoleh pembelaan suatu lembaga bantuan hukum.
Untuk itu, pemerintahan sekarang harus memperhatikan program-program yang langsung menyentuh rakyat strata bawah seperti bagaimana mencegah PHK massal, penurunan daya beli, penambahan angka kemiskinan, mengatasi pengangguran dan kecenderungan pertambahan pengangguran. Stimulus ekonomi juga harus dapat mencegah PHK massal oleh perusahaan dengan memberi stimulus pengurangan pajak tertentu kepada perusahaan yang tetap mempertahankan jumlah pekerjanya dalam kurun waktu tertentu dalam menghadapi pelemahan ekonomi ini.
Sungguh suatu perbandingan yang kontras di mana dalam negara yang masih mempunyai utang luar negeri sebesar Rp 4.376 Triliun per Juli 2015 dengan pendapatan kotor nasional per kapita kira-kira sebesar Rp 50 juta per tahun (tahun 2014) masih ditemukan adanya mobil-mobil mewah seperti Rolls-Royce, Bentley, Jaguar, Ferari, Lamborghini, dan lain-lain yang berseliweran di jalan-jalan protokol ibukota yang di saat musim hujan mengalami banjir yang parah. Belum lagi masalah sampah bertumpuk, lalu lintas macet karena salah urus dan korupsi dahsyat di masa lampau. Proyek-proyek raksasa seperti waduk, infrastruktur, pelabuhan, airport, tenaga nuklir, listrik, transportasi massal, dan lainnya masih saja didominasi dan dikuasai penguasa dan pengusaha oportunis dibawah sistem kapitalisme “backing” tadi. Bahkan menurut survei (Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk miskin Indonesia per bulan Maret 2015 meningkat menjadi 28,59 juta jiwa. Persoalan-persoalan ini nyata terjadi dan menunggu pemerintah sebagai inspirator dan motivator untuk menyelesaikannya.
Penghamburan APBN dan APBN
Revolusi mental yang dikumandangkan Presiden Jokowi pada awal masa pemerintahannya tidak dihayati, diresapi dan dilaksanakan secara konsekuen oleh para menteri, pimpinan dan anggota DPR, gubernur, walikota, serta pejabat-pejabat teras lainnya yang masih saja dinas keluar negeri membawa keluarga atas biaya negara. Belum ada kesadaran melapor harta sewaktu menjabat suatu jabatan publik. Tidak salah kalau LSM-LSM anti korupsi, pengawasan DPR, Polri dan Konstitusi dan lain-lain, terus bersuara dan protes atas perilaku yang tidak mengindahkan keadaan prihatin rakyatIndonesia. Tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR baru-baru ini putusannya sungguh “memalukan” yang dibuat ditengah-tengah keprihatinan bangsa dan negara saat ini. Belum lagi dari fakta masih saja praktik korupsi dijalankan dalam birokrasi, baik kasus-kasus yang lalu dijaman SBY dan sekarang, maka perilaku para birokrat ini masih saja “business as usual” dan jangankan menyadari dan menghayati revolusi mental, mengerti saja mungkin tidak.
Ketidakpedulian Sosial (Social Ignorance)
Terhadap pejabat-pejabat dan pengusaha yang tetap saja mempraktikkan ersatz capitalism, apa yang dapat diharapkan sekarang adalah menindak mereka dalam praktek korupsi dan suap. Presiden Jokowi harus betul-betul memperhatikan keseriusan para menterinya melaporkan harta kekayaannya ketika dilantik dan menyelesaikan masa tugasnya sebagai ukuran integritasnya. Kalau tidak praktik korupsi dan “backing” ini akan jalan terus dan akan menggangu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Para pengusaha akan mencari keuntungan bisnis melalui koneksi dengan para penguasa yang tidak memiliki integritas dalam menjalankan jabatannya. Di masa pasca reformasi seperti ini, tentu hal ini tidak dibenarkan, transparansi (good governance) harus gencar dilakukan dan ditingkatkan, sementara praktik “backing” harus ditinggalkan.
Hal yang paling substansial dalam mengatasi ketidakpedulian sosial yang dapat berujung pada pecahnya gejolak sosial (social upheaval) adalah peran besar RI-1 dan RI-2 dalam memimpin dan memberikan contoh, sehingga ketidakpedulian sosial yang terjadi akibat kurangnya rasa prihatin para pejabat terhadap keadaan bangsa dan negara dapat diatasi melalui contoh konkrit dan tegas dari pimpinan tertinggi Republik ini.
Written by Frans Winarta
Published on Suara Pembaruan