24Oct
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Dr. Hatta Ali dengan Surat Ketua MARI No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 merupakan langkah bijaksana menuju pengesahan RUU Advokat yang baru yang mengubah sistem wadah tunggal (single bar association) menjadi wadah jamak (multibar association). Tentunya surat Ketua Mahkamah Agung RI itu dibuat dengan melihat fakta yang ada bahwa sejak disahkannya UU Advokat tahun 2003 yang lalu tidak pernah tercipta single bar association. Delapan organisasi advokat yang diakui UU Advokat itu tetap eksis tetapi tidak meleburkan diri ke dalam wadah tunggal organisasi advokat sebagaimana dimaksud UU Advokat dan menjalankan fungsinya sesuai anggaran dasar organisasi advokat masing-masing.
Setelah 12 tahun berjalan, 8 organisasi advokat tersebut berkembang menjadi 15 organisasi advokat. Dengan melihat “das sollen” tidak selaras dengan “das sein” tersebut, Ketua Mahkamah Agung RI bersikap realistis untuk memperbolehkan semua organisasi advokat menyelenggarakan pelatihan advokat dan diberi wewenang memberikan rekomendasi untuk pelantikan advokat kepada semua pengadilan tinggi. Dengan demikian tidak ada lagi “monopoli” pendidikan advokat dan pelantikan advokat di Indonesia. Tidak ada lagi paksaan untuk menjadi anggota suatu organisasi advokat tertentu. Ribuan advokat muda yang tidak dapat dilantik menjadi advokat sesuai UU Advokat karena berbagai kendala sekarang terbuka untuk mengikuti syarat pelantikan advokat. Mereka sekarang dapat dengan bebas memilih organisasi advokat yang menjadi pilihannya dan tidak dibebani tarif selangit untuk mengikuti pendidikan advokat yang merupakan pengulangan program S1 di fakultas hukum yang sudah pernah dilewatinya. Pendidikan advokat menjadi kompetitif dan dapat dijangkau semua advokat sampai ke provinsi di seluruh Indonesia. Uang pelatihan akan jauh lebih ringan dan fokus kepada praktik, etika, dan mata pelajaran praktis lain seperti arbitrase perdagangan selain hukum acara dan magang. Jadi nasib calon advokat di seluruh Indonesia tidak hanya bergantung kepada satu organisasi advokat yang selama ini mempersulit calon advokat untuk menjalankan profesinya dengan berbagai syarat yang tidak sesuai dengan kaidah universal profesi advokat.
Langkah Ketua Mahkamah Agung RI ini merupakan langkah awal menuju pengesahan UU Advokat berbeda yang menganut multibar association yang sesuai dengan struktur dan kultur bangsa Indonesia. Dalam sistem hukum progresif, undang-undang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dinamis dimana sudah terbukti sistem single bar association gagal total. Pecahnya PERADI menjadi 3 kubu menjadi bukti nyata gagalnya sistem single bar association. Pengelolaan keuangan yang tidak transparan dan pemilihan ketua umum yang tidak demokratis mengakibatkan terpecahnya organisasi yang dikelola secara komersial belaka tanpa mendengarkan aspirasi dari bawah. Dengan sistem multibar association ada persaingan sehat yang kompetitif dimana organisasi yang dikelola secara profesional dan demokratis saja yang dapat eksis. Sistem pelatihan dan ujian yang baik dapat mendorong suatu organisasi menjadi sukses dalam menjalankan fungsinya.
Dengan sistem hukum yang progresif, UU Advokat harus diubah dan sistem multibar association harus segera disahkan karena sistem single bar association tidak sesuai lagi dengan fakta bahwa apa yang diatur dalam UU Advokat tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Klaim wadah tunggal adalah ilusi yang bertentangan secara faktual dengan adanya 15 organisasi advokat yang menjalankan aktivitasnya masing-masing dan memiliki anggota yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Ide wadah tunggal adalah berasal dari rezim Orde Baru yang korporatif dimana semua organisasi disatukan agar mudah diawasi. Hal ini cocok untuk “negara penjaga malam” (nachtwakersstaat), dimana tugas pemerintah adalah mempertahankan ketertiban umum dan keamanan negara melalui pengawasan kepada setiap orang atau kelompok sehingga tidak cocok untuk diimplementasikan di negara yang menganut asas demokrasi. Pada waktu UU Advokat disusun akhir tahun 1990-an dan permulaan tahun 2000-an ide wadah tunggal muncul kembali dengan pemikiran penyatuan organisasi advokat melalui UU Advokat akan berhasil. Tetapi kenyataannya setelah 12 tahun diundangkannya UU Advokat tersebut, masih saja secara faktual terbentuk multibar association. Ide wadah tunggal menjadi gagal. Menyatukan masyarakat dengan akar kemajemukan memang sulit, sehingga tidak ada jalan lain, sistem yang tidak cocok dengan struktur dan kultur Indonesia itu harus diubah menjadi sistem multibar association dan disahkan secepatnya oleh DPR RI.
Hanya saja selain itu harus diingat, pendidikan dan ujian advokat jangan sampai dikomersialkan lagi dan organisasi profesi advokat harus hidup dari iuran dan sumbangan anggota sesuai dengan kaidah universal profesi advokat dan bukan hidup dari uang kursus atau pelatihan advokat dan pelantikan advokat. Demikian pula pengaturan praktik hukum advokat asing dan pembatasannya harus disesuaikan dengan “IBA Standard For Foreign Legal Consultant”. DPR RI harus mempunyai political will yang kuat untuk segera mengesahkan RUU Advokat yang baru yang menganut sistem multibar association demi kemaslahatan masyarakat dan pencari keadilan.
Written by Frans Winarta
published on Koran Sindo