27Feb
Adalah Melky Goeslaw yang pernah membawakan lagu tentang beratnya perjuangan orang untuk hidup di Ibukota Republik Indonesia, Jakarta. Hidup yang penuh pergumulan, bergulat siang malam melawan pahit-getir hidup di Jakarta tanpa ada yang peduli kesulitan hidup ini. Yang paling memorable dari lagu ini, tentu adalah refrainnya, “Sapa suru datang Jakarta, Sapa suru datang Jakarta, Sandiri suka, sandiri rasa, Eh doe sayang.” Kurang lebih, lagu itu yang harus siap-siap dinyanyikan untuk setiap investor yang datang di Indonesia. Sudah susah payah datang, bergulat dengan izin dan birokrasi pelik ala Republik, masih juga harus kalah dalam menyoal merek yang jauh-jauh dibawa dari kampung halaman.
Baru-baru ini misalnya, sebuah perusahaan furniture kenamaan asal Negara di kawasan Skandinavia harus bertekuk lutut di Pengadilan Indonesia lantaran merek dagang yang dipakainya ternyata telah lebih dahulu didaftarkan oleh pengusaha Indonesia, dan pendaftaran itu diterima oleh Negara tanpa banyak perdebatan. Sebelumnya juga tidak sedikit sengketa merek yang melibatkan merek ternama dunia. Mulai dari minuman kesehatan, es krim, hingga pakaian. Padahal, berdasarkan Pasal 6 UU Merek, salah satu pendaftaran merek yang harus ditolak pendaftarannya adalah merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang atau jasa sejenis. Tentunya, hal ini membawa kita pada persoalan krusial tentang persoalan perlindungan investasi di Indonesia, khususnya dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Butuh Perlindungan
Fakta bahwa Indonesia membutuhkan kedatangan investor asing tentu tidak dapat dinafikan. Beragam cara dan upaya dilakukan untuk mengundang investasi asing masuk ke Indonesia. Terakhir, Pemerintah berencana merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) setelah sebelumnya mengeuarkan paket-paket kebijakan untuk mereduksi perizinan yang dibutuhkan para investor asing sebagai salah satu strategi untuk semakin menarik minat para investor.
Apa yang dilakukan pemerintah ini menunjukkan Indonesia masih bergantung pada incentive based system dalam relasi antara Negara dengan Investor asing. Menurut Bradlow & Escher (1999), paling tidak ada tiga pendekatan yang biasa digunakan untuk memandang investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI). Pertama, incentive-based system dimana FDI dipandang sebagai bagian dari proses pembangunan yang terencana dan terkontrol oleh Negara. Fiskal dan insentif lain yang disediakan Negara merupakan sarana untuk mengundang FDI pada area-area yang dipandang strategis oleh Negara. Kedua, market-oriented system yang lebih menekankan pada kekuatan pasar dalam mengundang FDI. Artinya, sekalipun Negara ikut melakukan intervensi dalam kegiatan ekonomi, baik dalam stabilisasi nilai mata uang ataupun mengatur hukum lingkungan dan ketenagakerjaan, namun FDI lebih digerakkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ketiga, sistem campuran yang mengkombinasikan sisi positif dari incentive-based system dan market-oriented system.
Terlepas dari ketiga dikotomi model relasi antara Negara dan investor, Negara tetap memiliki peran entah besar atau kecil. Dalam hal ini, relasi Negara dan FDI menghadapi tantangan apakah FDI hanya terkonsentrasi untuk kepentingan jangka pendek suatu Negara atau jangka panjang. Dengan kondisi yang kita hadapi saat ini, mucul dua pertanyaan. Pertama, sampai seberapa lama dan kuat pemerintah terus-menerus memberikan insentif untuk menarik FDI? Kedua, sampai seberapa jauh insentif yang ditawarkan tersebut menarik bagi FDI?
Hanya dengan mengandalkan insentif tentu tidak akan berdampak baik untuk kelangsungan FDI dalam jangka panjang. Sementara, ekspektasi yang kita harapkan justru simbiosis yang mutualisme antara Negara dan FDI dan mengandalkan insentif saja tidaklah cukup. Oleh karena itu, perlu dipikirkan setelah pemerintah tidak memberikan insentif apapun, FDI tetap mau datang dan bahkan tinggal berkontribusi bagi Indonesia.
Untuk menghasilkan itu, tentu dibutuhkan rasa aman dan nyaman berusaha yang tidak bisa tidak hanya dapat dijawab oleh kepastian hukum dan tegaknya keadilan. Sejauh mana hukum dapat diandalkan dan pengaplikasiannya sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Maka, persoalan perlindungan hukum tidak hanya sekedar soal menyelesaikan sengketa di pengadilan, tapi bagaimana aturan yang ada dapat dijadikan patokan untuk pelaku usaha menjalankan bisnisnya, termasuk dalam hal-hal dasar seperti perlindungan HKI.
Revisi UU Merek
Masih banyak celah yang ada dalam UU Merek harus segera ditutup dengan regulasi yang lebih komprehensif. Kriteria merek terkenal yang saat ini masih belum jelas perlu diperjelas dalam UU Merek yang baru. Apalagi, Indonesia sebagai Negara peratifikasi The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) terikat dengan ketentuan dalam TRIPS yang memberikan tanggung jawab yang sangat besar bagi Negara untuk menentukan kriteria merek ternama.
Pengadilan Niaga yang memutus sengketa merek hanyalah institusi yang berada di hilir permasalahan. Dirjen HKI sebagai otoritas yang berwenang untuk menerima atau menolak pendaftaran merek mengemban tanggung jawab paling besar untuk meminimalisir sengketa yang timbul sehingga nama Indonesia tidak identik sebagai Negara pendompleng merek terkenal Negara lain. Maka, kapabilitas aparat yang bekerja di bidang HKI juga perlu ditingkatkan. Pengetahuan, wawasan, dan pemahaman mengenai merek-merek di dunia serta praktek-praktek yang ada juga perlu dikenalkan kepada para aparat sehingga sengketa merek yang terjadi akibat kelalaian dan ketidaktelitian birokrat yang bergerak di bidang HKI tidak terus berulang.
Adalah konyol apabila Presiden sudah susah payah mengundang banyak investor asing masuk ke Indonesia namun harus terpental akibat ketidaksiapan birokrat negeri sendiri dalam mengembang tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan oleh Negara. Kita perlu menyadari, soal investasi asing bukan soal insentif semata, karena tanpa perlindungan hukum yang pasti, insentif yang paling menarik pun akan sia-sia. Mumpung RUU Merek masih belum disahkan, belum terlambat untuk menyempurnakannya menjadi UU Merek yang bisa menjadi solusi. Jangan sampai hanya karena soal merek, orang bertanya, masih berani datang ke Jakarta?
Written by Michael Herdi Hadylaya
Published on harian KONTAN