News

12Oct

Quo Vadis Wadah Tunggal Advokat

laws, government, political

Tulisan ini ditujukan kepada masyarakat dan khususnya para advokat muda mengenai sejarah dan asal – usul ide wadah tunggal organisasi advokatIndonesiayang mulai dicetuskan pada era Orde Baru pada akhir tahun 1970-an dan direalisasikan dalam Musyawarah Nasional AdvokatIndonesia10 November 1985 di Hotel Indonesia,Jakarta. Mungkin saja generasi mudaIndonesiadan para advokat muda sekarang kurang mendapatkan informasi bahwa ide wadah tunggal organisasi advokat telah dicanangkan sejak dulu.

Sejalan dengan karakteristik pemerintah Orde Baru yang korporatis, maka organisasi profesi dan pekerja (buruh) di era Orde Baru disatukan dalam sebuah wadah tunggal seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Ide ini dicetuskan agar kedua organisasi tersebut dapat dikontrol dengan efektif jika dilebur menjadi satu.

Wartawan yang cenderung berpihak kepada kebebasan menulis dan mengemukakan pendapat termasuk dalam bentuk kritik kepada penguasa serta pekerja (buruh) yang cenderung berdemonstrasi dan unjuk rasa untuk memperjuangkan hak – haknya juga lebih mudah dikontrol secara efektif kalau ada dalam satu organisasi.

Ide wadah tunggal organisasi yang mulai dicetuskan Ali Said selaku Menteri Kehakiman Indonesia waktu itu pernah disampaikan kepada Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) Suardi Tasrif tahun 1978 dan direalisasikan tahun 1985 ketika Ali Said menjadi Ketua Mahkamah Agung RI. Sebagian besar pengurus teras PERADIN (DPP PERADIN) menolak gagasan itu karena enggan dikontrol oleh pemerintah Orde Baru. Ketika wadah tunggal organisasi advokatIndonesiaterbentuk, Ketua Umum PERADIN kala itu adalah Haryono Tjitrosubono yang kemudian terpilih menjadi Ketua Umum pertama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada tanggal 10 November 1985.

Banyak para pengurus DPP PERADIN yang tidak setuju dengan ide wadah tunggal organisasi advokat, antara lain: Suardi Tasrif, Haryono Tjitrosubono, Soekardjo Adidjojo, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, Nari Razak, Jerry Abubakar, dan  lain-lain. Namun akhirnya, di bawah tekanan politik, para anggota PERADIN setuju bergabung dengan ide wadah tunggal organisasi advokat yang kemudian dinamakan IKADIN. Pada awalnya hanya Adnan Buyung Nasution dan Yap Thiam Hien yang bersikeras menolak untuk bergabung, tetapi setelah dibujuk para koleganya mereka akhirnya setuju bergabung dengan tujuan memperjuangkan agar wadah tunggal organisasi advokat ini tetap dapat dijalankan oleh mantan pengurus DPP PERADIN.

Ternyata melalui pemilihan one man one vote, Haryono Tjitrosubono terpilih sebagai Ketua Umum IKADIN yang pertama. Selanjutnya, sebesar 90% pengurus IKADIN kala itu adalah mantan pengurus PERADIN. Dan calon yang dijagokan pemerintah tidak berhasil menjadi Ketua Umum PERADIN.

Dimulailah era wadah tunggal sejak tahun 1985 yang tetap mendapatkan gangguan dari penguasa waktu itu. Rapat Kerja IKADIN di Hotel Sahid tahun 1988 tidak memperoleh ijin dan Munas IKADIN yang pertama di Hotel Horizon. Ancol, Jakartauntuk memilih Ketua Umum periode 1990-1995 berakhir ricuh karena para peserta terbelah dua antara pemilihan secara perwakilan DPC atau one man one vote. Ismail Saleh selaku Menteri Kehakiman waktu itu membuka Munas IKADIN dengan menyarankan pemilihan secara one man one vote, padahal waktu itu cabang (DPC) sudah berdiri dan menurut tradisi PERADIN memang pemilihan Ketua Umum dilakukan melalui pemungutan suara dari perwakilan cabang seluruh Indonesia. Karena perbedaan tajam itu, maka berdirilah Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang langsung diakui pemerintah Orde Baru.

 Prinsip Officium Nobile Advokat

Perpecahan yang mirip terjadi lagi dalam Munas Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) di Makassar pada tanggal 27-28 Maret 2015 dalam rangka memilih Ketua Umum periode 2015-2020. Bedanya kalau dulu para advokat bersatu dalam PERADIN dan IKADIN karena ide dan cita-cita mendorong terbentuknya ngara hukum (rechtsstaat) dan penghormatan serta penegakan hak asasi manusia, sangat kontras dengan situasi saat ini dimana para advokat bersatu karena faktor kepentingan seperti penyelenggaraan PKPA dan komersialisasi pendidikan advokat. Pada akhirnya, penegakkan kode etik advokat menjadi terabaikan. Sistem oligopoli yang dijadikan dasar pembentukan pengurus menjadi sumber perpecahan.

Banyak keluhan dari para advokat muda bahwa perkara kode etik yang mereka laporkan kepada organisasi tidak diperiksa dan diputus, maka tidak aneh korupsi yudisial menjadi marak dan menjatuhkan martabat dan kehormatan profesi advokat. Klaim officium nobile banyak dislogankan dan diucapkan tanpa dipahami secara mendalam apa artinya. Bagaimana para pengurus organisasi advokat mengklaim profesinya officium nobile atau sebagai profesi mulia padahal sehari-hari terlibat dalam praktek suap dan sogok, menghilangkan bukti, merubah bukti, memalsukan dokumen, bertemu hakim secara sepihak, memberi janji atau gratifikasi, menjanjikan promosi, menyalahgunakan fasilitas umum (semua itu masuk kategori Korupsi Yudisial menurut International Bar Association).

Kalau sekarang PERADI pecah menjadi tiga maka dapat dipastikan akan ada pecahan-pecahan lagi jika orientasi berorganisasi dengan prinsip kepentingan dan komersial masih dijadikan misi utama organisasi. Tidak ada cara lain lagi, sekarang organisasi advokat harus menjalankan prinsip “good governance” dan bersaing secara sehat dalam sistem multi-bar association. DPR harus cepat mengesahkan RUU Advokat dengan sistem multi-bar association karena dengan persaingan bebas nantinya yang diuntungkan adalah pencari keadilan (justitiabelen) dan masyarakat karena akan memperoleh pelayanan hukum secara profesional, jujur, bersih, mengedepankan kepentingan klien, ahli dan memahami hukum dan fungsinya sebagai advokat dengan baik dan luas.

Saat ini sudah terlalu banyak pelanggaran kode etik advokat antara lain seperti: membicarakan perkara perdata tanpa ijin kliennya di depan publik, membocorkan rahasia klien yang seharusnya dijaga dan dipegang teguh karena kepercayaan (lawyer-client privilege), menyuruh saksi berbohong atau tersangka lari ke luar negeri dan perbuatan lain yang tidak diperkenankan oleh kode etik advokatIndonesia.

Akhir kata, persaingan sehat yang menelurkan advokat tangguh dan profesional tetapi jujur dan bersih akan dapat diwujudkan jika ada persaingan sehat dalam sistem multi-bar association dan bukan monopoli organisasi yang dipertontonkan dalam era wadah tunggal saat ini.

Written by Frans Winarta

<< Back

Close

Search