News

15Apr

Politisasi Agama Selalu Mengancam Politik Indonesia

political, Democracy, religion

Pesta demokrasi yang dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung di Indonesia telah diadakan sebanyak sebelas kali semenjak tahun 1955. Pemilu dilaksanakan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, termasuk di dalamnya memilih perwakilan rakyat dan perwakilan daerah. Dalam setiap pelaksanaannya, penyelenggaraan pemilu pertama kali di tahun 1955 hingga yang terakhir di tahun 2014 selalu diwarnai berbagai macam peristiwa. Dimulai dari ketidaksiapan negara di awal perhelatan pemilu di tahun 1955, tingginya angka buta huruf, hilangnya sejumlah kertas suara yang mengakibatkan warga tidak dapat memilih, KKN, kampanye hitam, kampanye negatif, isu gender, hoax, adanya politik uang, dan yang paling terbaru yang dipergunakan menjelang pemilu 2019 adalah politisasi agama.

Agama dan politik merupakan dua hal yang erat hubungannya dengan kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari. Indonesia sendiri pada dasarnya berada di tengah-tengah dalam menyikapi posisi agama dan politik di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dapat dikatakan, Indonesia bukan negara sekuler yang tidak mencampuri kehidupan beragama setiap warga negara, namun bukan juga negara agama yang menggunakan agama tertentu sebagai sumber hukum nasional yang mengatur kehidupan warga negara. Indonesia pada dasarnya merupakan negara religius yang mengambil nilai-nilai universal dalam agama dan kepercayaan yang dianut oleh seluruh rakyat untuk diamalkan ke dalam sila pertama Pancasila, yaitu: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pilihan para founding fathers Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis.

Hampir di seluruh dunia, politisasi agama sudah sering dipergunakan oleh pihak-pihak yang berpolitik untuk melancarkan tujuannya meraih kekuasaan. Bahkan dahulu, saat awal-awal pemilu dilaksanakan di Indonesia, ada partai politik yang menjanjikan jika memilih partai politik tersebut maka akan masuk ke surga, yang tidak memilih partai politik tersebut akan masuk neraka. Hingga kini, politisasi agama masih begitu diminati oleh para elit politik di manapun. Sentimen agama anti-Islam dikampanyekan di Amerika Serikat pada pemilu tahun 2016.  Sentimen agama dan kasta juga dihembuskan menjelang pemilu di negara India yang akan dilaksanakan pada bulan Mei 2019 nanti. Kampanye yang dilakukan adalah meyakinkan “Hindu to vote Hindu”, hal ini karena mayoritas rakyat India beragama Hindu. Hampir mirip dengan yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta tahun 2016 yang lalu dimana nilai-nilai agama dan kemanusiaan direduksi menjadi semata-mata ancaman dan hinaan, bukannya lebih menggali kepada nilai-nilai luhur agama seperti bagaimana seorang pemimpin maupun wakil rakyat seharusnya berintegritas, profesional, memiliki moral dan perilaku yang baik, menjauhi larangan agama serta menolak korupsi, kolusi, nepotisme, suap, dan yang lainnya. Seharusnya pikiran seorang manusia yang memeluk agama harus dapat memberikan output yang baik.

Kemurnian Agama

Dua minggu menjelang pemilu Indonesia yang ke-12 tanggal 17 April 2019 nanti, identitas agama para capres dan cawapres selalu dipertanyakan dan dibahas sedemikian panjang meskipun agama merupakan ranah privat seseorang sebagai warga negara Indonesia.  Politisasi agama masih laku dijual dalam pertarungan politik kedua belah kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam bukunya “Politics and Religion in The Modern World” (1991), George Moyser menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan politik dapat berkembang dalam tiga bentuk berbeda, antara lain: otoritas politik mengendalikan institusi agama, pemimpin agama mendukung otoritas politik, dan/atau simbiosis antara politik dan agama.  Tiga kemungkinan tersebut kerap terjadi saat agama selalu dikaitkan dengan politik. Padahal agama tidak seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.

Menjelang pemilu sebaiknya tokoh agama tidak melibatkan diri di dalam kampanye maupun tim sukses pasangan calon demi mendulang suara. Masing-masing pasangan calon harus fokus kepada program kerja yang kongkrit dan uraian panjang lebar mengenai mau dibawa kemana negara ini di masa jabatan 5 tahun ke depan, dan bagaimana harapan masing-masing pasangan calon terhadap negara 50 tahun ke depan. Strategi politik untuk melibatkan agama dan tokoh agama dalam meraih kekuasaan sungguh merusak kemurnian agama sebagai suatu sistem yang mengatur tata keimanan yang sakral. Di lain sisi, jika tim sukses pasangan calon hanya fokus kepada satu agama saja, maka akan rentan terjadi disintegrasi, karena negara Indonesia adalah negara yang pluralis. Tidak ada jaminan bahwa nantinya pemimpin yang terpilih dapat berlaku adil melihat Indonesia begitu pluralis dan apakah tidak akan ada preferensi kepada agama tertentu dalam membentuk suatu kebijakan.

Dan jika agama terus dikaitkan dengan politik, maka lambat laun politik seolah-olah menjadi suatu kegiatan suci yang tidak dapat diralat dan dikritik oleh para elit politik lain yang bersih dan rakyat karena selalu dikaitkan dengan agama yang sifatnya luhur.  Bung Hatta dalam pidatonya yang dibacakan di hadapan para mahasiswa Universitas Islam Aligar di India 29 Oktober 1955, menyatakan bahwa:

Menurut dasarnya yang sedalam-dalamnya, agama menghendaki persatuan umat manusia dalam persaudaraan. Ia mengemukakan dasar-dasar normatif, bagaimana mestinya. Tujuan agama ialah memberi pegangan hidup kepada manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat untuk berbuat yang benar, yang baik, yang adil, yang jujur, dan yang suci, supaya ada kesejahteraan dalam hidup manusia dan bangsa

Agama mengajarkan manusia kebaikan dan kasih sayang. Namun politik jika bertemu dengan agama akan membawa rasa emosional bagi rakyat dan bukan cara berpikir rasional dalam menentukan pilihan politiknya. Urgensinya saat ini, rakyat harus memahami bahwa tujuan politik adalah agar kekuasaan yang diperoleh nantinya dapat dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat, bukan golongan tertentu saja. Politik tidak bersifat final, ia begitu dinamis bahkan elite politik bisa dengan enteng lompat dari kubu satu ke kubu yang lain, namun tidak begitu dengan rakyat, jika sisi emosional sudah dimainkan, kebencian bisa mendarah daging sehingga menimbulkan disintegrasi. Jangan sampai rakyat kadung tergerak hatinya untuk saling membenci satu sama lain akibat politisasi agama yang dihembuskan oleh para elite politik dan provokator lainnya. Pertanyaan RA Kartini di dalam suratnya kepada Mejuffrouw Estelle "Stella" Zeehandelaar tanggal 6 November 1899 pun masih relevan untuk direnungkan 120 tahun kemudian: “Religion, which is meant to save us from our sins, how many sins are commited in thy name?” Singkat kata, jangan campurkan agama dengan politik.

 

Written by Frans Hendra Winarta

Published on Suara Pembaruan

<< Back

Close

Search