01Sep
Rencana pemerintah mengajukan RUU KUHPidana yang masih mengandung pasal-pasal yang anti demokrasi dan mengesampingkan perlindungan hak asasi manusia sungguh di luar dugaan. Hal ini karena Pasal 265 dan 266 RUU KUHPidana justru merupakan fotokopi dari Pasal 154 s.d 157 KUHPidana yang berasal dari Kitab Hukum Pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang diilhami Kitab Hukum Pidana Perancis yang merupakan bagian dari Code Napoleon (terdiri dari Code de civil, Code de commerce dan Code de penal). Namun sebenarnya, Belanda dan Perancis sendiri sudah lama tidak menggunakan pasal-pasal yang dapat menghalangi atau membatasi kemerdekaan dan hak asasi manusia tersebut.
Sungguh mengherankan dalam era demokratisasi ini, khususnya setelah era reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998, pasal-pasal penyebar kebencian (haatzaai artiekelen) yang digunakan pemerintah kolonial untuk membungkam gerakan kemerdekaan digunakan lagi dalam perangkat KUHPidana Indonesia yang baru nanti. Pemerintahan Jokowi-JK ketika meneruskan RUU KUHPidana itu seharusnya disertai “minderheidsnota” yang menyatakan keberatan dengan Pasal 265 dan 266 RUU KUHPidana karena alasan penghormatan atas hak asasi manusia dan kemerdekaan individu.
Soekarno suatu waktu dulu pernah berkata dalam bukunya yang terkenal, Di Bawah Bendera Revolusi, 1964: “Rakyat yang tidak merdeka adalah rakyat yang sesungguh-sungguhnya tidak-merdeka. Segala gerak-bangkitnya adalah tidak-merdeka. Segala kemauannya, segala pikirannya, ia segala rohnya dan nyawanya adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak leluasa, mau itu tidak leluasa. Mau ini ada ranjau, mau itu ada jurang. Mau mengeluarkan kritik, ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa; mau menganjurkan kemerdekaan, ada artikel 153 bis dan ter; mau menggerakkan kaum buruh, terancam artikel 161 bis; mau mengadakan aksi radikal, gampang dicap “berbahaya bagi keamanan umum”; mau memajukan perniagaan ada rintangan bea, mau memajukan sosial ada macam-macam “syaratnya”, - pendek kata: mau ini ada duri, mau itu ada paku.”
Dari perkataannya tersebut, terlihat bahwa Soekarno pada masa pemerintahannya pun telah memberikan perhatian secara khusus terhadap kebebasan berpendapat yang dihalang-halangi oleh undang-undang. Seharusnya setelah 70 Tahun merdeka dan 17 tahun era reformasi “haatzaai artiekelen” tidak lagi digunakan dalam KUHPidana yang baru. RUU KUHPidana tidak perlu memuat pasal-pasal yang tidak selaras dengan jaminan kemerdekaan individu. Seolah-olah perjuangan mahasiswa, pemuda, aktivitis LSM dan para reformis dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat menjadi kurang dihargai. Padahal mereka sudah mengorbankan segala-galanya untuk mencapai tingkat demokrasi seperti sekarang. Walaupun masih jauh dari sempurna kebebasan sekarang yang dapat kita nikmati adalah hasil perjuangan mereka melalui peristiwa-peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis, penghukuman atas pendemo SDSB yang dianggap menghina presiden, pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan dalam peristiwa Tanjung Priok, Talang Sewu dan yang lainnya.
Kritik Sebagai Komunikasi Politik
Di dalam negara hukum berdasarkan asas demokrasi ini, kritik yang dilancarkan kepada pejabat pemerintah merupakan bagian dari komunikasi politik dan dapat dilakukan melalui tulisan atau demonstrasi jika komunikasi politik itu macet. Kritik merupakan salah satu cara keturutsertaan warga negara dalam mengawasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang dijamin dalam konstitusi UUD 1945.
Seorang pejabat, termasuk presiden dan wakil presiden, harus mau dikritik sebagai bagian dari cara berdemokrasi yang efektif. Seorang pemimpin jika tidak mau dikritik menandakan bahwa dia belum siap untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut juga mejelaskan bahwa dia tidak dapat menggunakan kritik sebagai cermin untuk mengukur dirinya sampai di mana program dan kebijakannya ampuh dan benar serta berguna bagi masyarakat. Membalas kritik dengan hukuman dan membawa yang mengkritik ke pengadilan bukanlah sifat seorang pemimpin yang demokratis tetapi lebih cocok diimplementasikan dalam kepemimpinan yang otoriter. Kritik haruslah diterima sebagai masukan, namun disampaikan dengan cara yang positif untuk tujuan yang positif pula.
Salah satu pemimpin kita yang menggunakan kritik sebagai cermin untuk mengukur sampai dimana pemerintah provinsi DKI Jakarta efektif adalah Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1960an dan 1970-an. Sungguh mengherankan jika presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung malah mengembalikan perangkat hukum pidana kita kepada era represif yang digunakan pada jaman kolonial.
“Haatzaai Artiekelen” di masa lampau digunakan untuk membungkam gerakan kemerdekaan oleh Inggris di tanah jajahan India dan Belanda di Indonesia. Di abad ke-21 yang serba modern dan komunikasi elektronik yang begitu canggih mengakibatkan apa yang terjadi di semua pelosok dunia dapat diterima dengan cepat dan segera. Oleh karena itu komunikasi politik tentunya dapat disampaikan dengan cepat dan efektif pula. Sampai detail dari serangan teroris di Sidney – Australia, Chattanooga – Amerika Serikat dan Perang ISIS di Timur Tengah dapat ditayangkan dengan cepat dan mudah ke seluruh dunia. Sehingga tidak ada alasan akan adanya kemacetan komunikasi politik sekarang jika saja pemerintahan Jokowi-JK mau mendengarkan aspirasi rakyat dan tidak terlalu mendengarkan apa yang disampaikan oleh partai politik.
Written by Frans Winarta
Published on Koran Sindo