News

30Apr

Pejabat kok gitu?

government, social, political

Menurut Mahatma Gandhi, ada tujuh dosa besar yang menjangkiti manusia yaitu kekayaan tanpa bekerja, kenikmatan tanpa nurani, ilmu tanpa kemanusiaan, pengetahuan tanpa karakter, politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moralitas, dan ibadah tanpa pengorbanan. Dan semua itu tengah menjangkiti bangsa kita. Maka, tidak heran apabila kita menemukan ada saja yang sudahlah datang telat, kerjanya hanya merokok, minum kopi, tidur siang, sembahyang sebentar, dan lantas pulang. Sudah begitu, dibayar tinggi dan mendapat predikat terhormat. Itulah bangsa kita.

Mereka ini, seolah mendapat keistimewaan demi keistimewaan dalam negara kita. Contoh saja, kewajiban penyampaian Laporan Harta dan Kekayaan (LHPN), ada saja yang menolak melakukan kewajiban yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 28/1999. Ancaman sanksi administratif agaknya tidak mempan untuk para penyelenggara ini. Dan seolah, hak itu dapat ditolerir, tak banyak yang bisa dilakukan karena memang merekalah yang empunya kuasa.

Ditengah keengganan ini, Panama Papers muncul dan anehnya memuat nama-nama pejabat. Namun, alih-alih ditindak, beragam dalih muncul, mulai dari yang rasional sampai yang dibuat-buat. Tak banyak yang mencontoh Perdana Menteri Islandia yang mundur karena namanya termaktub dalam bocoran itu. Kita, terlalu mengamini asas praduga tidak bersalah, bahkan terhadap orang-orang yang sepatutnya diduga bersalah.

Namun, dengan berbagai kejanggalan yang terjadi di bangsa ini, kita masih berani bermimpi bahwa negara kita akan bersih dari korupsi, penuh transparansi, dan tanpa kolusi. Kita masih bermimpi bahwa negara kita akan memasuki masa tata tentrem kerta raharja yang dipimpin oleh sang Satrio Piningit yang berparas laksana Kresna dan berkarakter seperti Baladewa. Namun apa lacur, belum selesai masalah yang satu, para pemimpin negeri ini kerap bertengkar sendiri.

Menurut James Freeman Clarke, “A politician thinks of the next election. A statesman, of the next generation.” Jika cara pikir seorang politisi dan negarawan dibedakan pada orientasi yang digambarkan James Clarke, agaknya para penyelenggara negara yang ada di Indonesia tidak masuk dalam kategori keduanya. Mereka justru lebih memikirkan lebih pendek dari sekedar pemilu lima tahun mendatang. Kekuasaan apa yang bisa direngkuh saat inilah yang menjadi perhatian. Tidak pusing bagaimana pemilu nanti, apalagi suri tauladan yang akan ditinggalkan bagi generasi mendatang kelak.

Mungkin, alangkah lebih baik jika sekalipun bukan negarawan paling tidak mencapai sekedar tahap politisi. Sayangnya, banalitas yang kerap ditunjukkan para penyelenggara negara justru menunjukkan kita masih jauh dari itu semua. Gedung parlemen bukan menjadi tempat lahirnya ide-ide bestari namun justru melahirkan prahara, makian, aksi saling tuding, sindiran, dan hujan interupsi yang tidak berdasar. Semua itu dipertontonkan kepada khalayak ramai, seolah, serendah itulah kebudayaan dan tabiat rakyat Indonesia yang hendak diwakili oleh para penunggu gedung parlemen itu.

Perebutan kursi pimpinan merupakan keniscayaan, entah di level MPR, DPR, ataupun DPD. Semua berebut ingin jadi pemimpin. Semua itu semakin menunjukkan natur yang sebenarnya dari para pelaku politik Indonesia. Kasar, tidak beretika, tanpa nalar, dan haus kekuasaan. Hari ini bergabung dengan koalisi ini, besok bergabung dengan koalisi itu. Bahkan, there is an honor among thieves, pencuri pun jauh lebih terhormat.

Tidak hanya di ranah legislatif, di ranah eksekutif pun sama. Alih-alih banyak bekerja, kabinet ini justru lebih banyak ribut dan reaktif dalam menyikapi isu yang ada, baik internasional maupun domestik. Seolah, pejabat yang ada masih gamang dalam memegang kekuasaan yang dimandatkan oleh rakyat.

Perlu Insaf

Semua ini dapat diatasi apabila ada kepemimpinan nasional yang kuat dan didukung dengan moral dan etika dari para pihak yang mengemban amanah rakyat. Bangsa kita, terutama para pejabatnya, harus banyak belajar dari betapa pentingnya sikap kenegarawanan dan kepemimpinan nasional dari sejarah bangsa kita dan juga bangsa lain.

Presiden Amerika Abraham Lincoln berujar bahwa, “A house divided against itself cannot stand.” Tatkala menyikapi soal perpecahan parlemen Amerika Serikat dalam menyikapi perbudakan. Sekalipun akhirnya Amerika Serikat harus mengalami perang saudara, namun faktor kepemimpinan Presiden Lincoln mampu menyatukan kembali Amerika Serikat yang terpecah belah.

Atau, ketika NKRI yang baru mau merdeka hampir bubar hanya karena soal dasar Negara, sikap kepemimpinan dan kenegarawanan dari para pendiri Republik mampu mencegah itu semua. Perdebatan antara Soekarno, Hatta, K.H. Wahid Hasyim dan anggota lainnya dari Tim Panitia Sembilan dalam merumuskan dasar Negara adalah perdebatan yang konstruktif yang bahkan membuka cakrawala berpikir kita saat ini soal pluralitas di dalam berbangsa dan bernegara.

Selain itu, semua pihak harus paham apa visi berdirinya negara kita. Bukan semata visi-misi selama kampanye. Jika para pimpinan negeri saja sudah tidak paham kenapa negara ini didirikan, bagaimana mau membawa rakyat ke jalan yang tepat untuk mengisi kemerdekaan ini? Tanpa visi yang benar, perdebatan yang dihadirkan hanya sebuah pertarungan ego dan emosi belaka.

Sudah saatnya para penyelenggara negeri ini ini membuktikan bahwa mereka benar-benar mengabdi untuk rakyat. Ribut-Ribut untuk kepentingan diri bukanlah ciri orang cerdas apalagi negarawan. Para pemimpin politik harus ingat pepatah Melayu, “Kalau tidak dipecahkan ruyung, manakan dapat sagunya.”  Kalau tidak berusaha keras, kesejahteraan negeri takkan tercapai. Kalau tidak mampu menyingkirkan ego masing-masing, kesejahteraan Negara takkan dapat diraih.

Perdebatan dan perbedaan pendapat memang lumrah terjadi dan pasti harus terjadi untuk mencapai kemaslahatan bangsa. Namun, jika kita memiliki kepemimpinan nasional yang kuat dan kesamaan visi diantara para penyelenggara negara ini, semua itu justru menjadi hal yang konstruktif. Rakyat butuh pemimpin yang bersatu untuk kebaikan bangsa dan negara. Kerja keras dan kerja cerdas, itulah yang tengah dinanti-nantikan oleh publik. Bukankah pejabat seharusnya begitu?

 

Written by  Michael Herdi Hadylaya

Published on harian KONTAN 

<< Back

Close

Search