19Oct
Watyutink.com - Beberapa era pemerintahan telah berlalu sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, namun soal korupsi di negara ini tak kunjung sirna. Sejak dulu sudah banyak dibentuk panitia, operasi, tim, komisi, dan tim gabungan untuk menangani perkara-perkara korupsi yang melibatkan banyak nama, namun hingga kini tidak ada seorang pun yang sanggup mencegahnya terus terjadi.
Semakin bertambah tua usia negara ini, bukannya semakin kecil tingkat korupsi yang terjadi, malah sebaliknya nilai yang dikorupsi semakin besar. Berita yang disuguhkan ke masyarakat tak lain hanya berkutat pada korupsi, kolusi, nepotisme, suap/gratifikasi, pencucian uang, dan lain-lain yang berhubungan dengan tujuan memperkaya diri. Sifat tamak dan serakah tersebut didorong oleh gaya hidup materialistis dan hedonistis yang mengejar materi dan kesenangan duniawi.
Berita yang paling baru dan hangat adalah dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah di Banjarnegara dan Probolinggo, kemudian dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang “Jiwasraya” dengan total kerugian negara hampir Rp17 triliun serta dugaan tindak pidana korupsi Asuransi Angkatan Bersenjata RI “Asabri” dengan total kerugian negara sebesar Rp23 triliun. Belum jika membahas perkara korupsi besar-besaran yang lampau seperti “Bank Century”, “BLBI”, “Hambalang”, serta korupsi yudisial yang melibatkan penegak hukum, hakim, panitera, bahkan advokat. Ironisnya, bagi rakyat, untuk sekadar membayangkan seberapa banyak uang ratusan juta bahkan triliunan itu saja tidak sempat, apalagi di era pandemi ini sebagian besar waktu rakyat dihabiskan untuk bekerja keras supaya bisa bertahan hidup.
Percy Bysshe Shelley, seorang sastrawan Inggris di abad ke-18 pernah mengungkapkan, “The flower that smiles today, tomorrow dies; All that we wish to stay, tempts and then flies; What is this world’s delight? Lightning, that mocks the night, briefs even as bright”. Segalanya bersifat sementara, termasuk korupsi. Meski begitu, masih banyak orang mempertaruhkan jabatan, harkat, dan martabatnya demi kerakusan yang tak terkendali, serta mempertaruhkan nama baiknya demi memenuhi hasrat dan ketamakan yang tidak terelakkan. Mungkin pikir mereka, toh seandainya tertangkap, paling-paling vonisnya hanya belasan tahun penjara, jika belasan tahun bekerja juga belum tentu mendapatkan uang ratusan juta hingga triliunan. Malah kalau beruntung, selanjutnya para koruptor bisa jadi dapat “diskon” seperti vonis yang diberikan hakim dalam perkara korupsi yang terjadi sebelumnya.
Perubahan Radikal
Semangat “ingin cepat kaya” yang dimiliki para koruptor tidak akan pudar jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan tidak sepadan dengan perbuatan yang dilakukan. Selain itu kita harus mendidik generasi muda tentang nasionalisme yang mulai luntur karena pengaruh asing dan sifat tamak serta rakus yang tidak selaras dengan jiwa nasionalisme. Singkat kata, nation and character building harus digalakkan.
Di era kemerdekaan, Bung Hatta amat percaya bahwa kaum terpelajar mampu menjadi pemimpin bangsa ini. Pesan yang hendak Bung Hatta sampaikan kala itu tentunya dengan konteks dan situasi politik yang lebih rumit daripada Era Reformasi saat ini. Bung Hatta sendiri begitu terkenal akan kesederhanaan, kejujuran, dan integritasnya hingga kelebihan ongkos perjalanan dinas pun dikembalikan lagi ke negara, karena ia tahu uang itu bukan miliknya.
Di dalam salah satu petikan pidatonya di depan mahasiswa dan akademisi di tahun 1957, ia mengutarakan pemikirannya, “Saya ingin melihat kaum intelegensia Indonesia menunjukkan tanggung jawab moralnya terhadap usaha-usaha pembangunan negara dan masyarakat kita. Dengan berpedoman kepada cinta akan kebenaran, yang menjadi sifat bagi orang berilmu.” Jika ditelusuri, pemikiran Bung Hatta meyakini bahwa orang pandai belum tentu berkarakter, orang berkarakter tentu sanggup menolak melakukan hal yang salah dan tidak benar Enam puluh lima tahun semenjak pidato Bung Hatta pada tahun 1957 tersebut, tidak sedikit warga negara dengan latar belakang pendidikan yang baik malah menjadi bagian dari korupsi dan demoralisasi. Tentunya hal ini makin menjauh dari cita-cita pendiri bangsa (founding fathers) pada waktu itu, yaitu mewujudkan Indonesia yang adil dan Indonesia yang makmur.
Nilai moral dan integritas yang mulai pudar mengakibatkan sifat tamak dan rakus semakin mendarah daging, apalagi jika terbiasa hidup lebih mengutamakan kepentingan dan kekuasaan. Ini juga yang diprediksi oleh Bung Karno dalam pidatonya dulu, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Perlu adanya perubahan radikal dalam tatanan nilai, keyakinan, serta cara berpikir insan Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Napas hidup anti-korupsi harus menjadi budaya hukum yang tertanam kuat dan mengakar. Penegak hukum dan lembaga antirasuah serta advokat Indonesia harus bisa menjadi garda terdepan dalam rangka menekan angka korupsi serendah-rendahnya. Tiap-tiap individu bangsa pun wajib mulai belajar lagi untuk menyelami nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup (philosophische grondslag) dan pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Meski sedikit, masih ada harapan.
Writen by Frans H. Winarta
Published on https:https://watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Meruntuhkan-Kekekalan-Korupsi