News

23Aug

Meninjau Ulang Peran Amicus Curiae dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

amicuscuriae, peradilanpidana

 Peradilan pidana di Indonesia menerima praktik Amicus Curiae. Namun, pengaturan formil mengenai Amicus Curiae masih sangat umum.

Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Sahabat Pengadilan”, merupakan praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan. Berbeda dengan pihak intervensi, keterlibatan Amicus Curiae hanya sebatas memberikan pendapat yang nantinya digunakan oleh hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus perkara.

Pada awalnya Amicus Curiae berasal tradisi Hukum Romawi yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Common Law. Dalam perkembangannya, penggunaan Amicus Curiae juga banyak ditemukan di negara-negara dengan sistem hukum Civil Law seperti Indonesia. Secara umum, landasan hukum yang dikaitkan sebagai dasar penerimaan konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.

Ketentuan tersebut memberi hakim kewajiban untuk menggali dan memperluas sumber informasi terkait perkara yang sedang diperiksa dan akan diputus. Banyaknya informasi yang diperoleh hakim diharapkan akan mendukung hakim bisa berpikir lebih terbuka, adil, dan bijaksana dalam memutus perkara. Amicus Curiae menjadi salah satu sarana bagi hakim dalam memperoleh informasi terkait klarifikasi fakta atau prinsip-prinsip hukum, terutama jika kasus-kasus itu melibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial dan perlu direformasi.

Amicus Curiae bisa diajukan baik oleh individu maupun organisasi yang berkepentingan terhadap suatu perkara. Ada tiga kemungkinan kepentingan pihak Amicus Curiae terhadap perkara yang sedang diperiksa dan dipertimbangkan oleh hakim. Pertama, untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok yang diwakilinya. Hal ini disebabkan putusan tersebut memengaruhi kepentingannya atau kelompok yang diwakilinya terlepas dari kepentingan para pihak yang berperkara. Pihak Amicus Curiae berusaha agar pengadilan tidak memutus hanya berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan para pihak yang berperkara. Kedua, untuk kepentingan salah satu pihak dalam perkara. Pihak Amicus Curiae membantu menguatkan argumennya agar pengadilan memiliki keyakinan “memenangkan” pihak tersebut atau mengabulkan permohonannya. Ketiga, untuk kepentingan umum. Sahabat pengadilan dalam hal ini memberikan keterangan mengatasnamakan kepentingan masyarakat luas yang akan menerima dampak dari putusan tersebut.

Pada umumnya pun terdapat tiga kategori bagi pihak yang berkepentingan dalam mengajukan Amicus Curiae yaitu mengajukan izin/permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan, memberikan pendapat atas permintaan hakim, atau memberikan informasi atau pendapat atas perkaranya sendiri.

Amicus Curiae dalam Peradilan Pidana di Indonesia

Dasar hukum penerimaan Amicus Curiae dapat dilihat pada Pasal 180 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.

Ketentuan “dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan” secara tidak langsung menjadi rujukan konsep Amicus Curiae. Jika ditafsirkan dengan pasal tersebut, Amicus Curiae merupakan wujud keterlibatan masyarakat dalam peradilan pidana. Namun, tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai Amicus Curiae dalam hukum pidana.

Mengingat fungsi Amicus Curiae sebagai informasi untuk mengklarifikasi fakta maupun konsep hukum, praktik penggunaannya dalam hukum pidana bisa ditempatkan dalam pembuktian. Tahap pembuktian sangat penting dalam proses persidangan pidana karena merupakan proses pencarian kebenaran terkait benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan. Teori yang digunakan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negative Wettelijk). Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa hakim hanya dapat menjatuhkan pidana apabila telah tersedia setidaknya dua alat bukti berdasarkan undang-undang ditambah dengan keyakinan hakim.

Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian sudah ditetapkan secara terbatas dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Meskipun memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan alat bukti keterangan saksi dan ahli, Amicus Curiae tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kategori alat bukti tersebut. Hal itu disebabkan dua alasan. Pertama, Pasal 1 angka (26) KUHAP, seorang saksi didefinisikan sebagai orang yang memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana berdasarkan apa yang di dengar, lihat, dan alami secara langsung, sedangkan pada praktiknya tidak ada persyaratan bahwa Amicus Curiae haruslah orang yang melihat, mendengar, ataupun mengalami sendiri perihal yang berkaitan dengan perkara pidana tersebut. KeduaAmicus Curiae juga tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti saksi ahli. Hal ini disebabkan ada syarat menjadi saksi ahli yaitu harus memiliki keahlian khusus terkait informasi yang diberikan. Padahal, Amicus Curiae tidak harus berasal dari orang yang mempunyai keahlian khusus seperti saksi ahli. Masyarakat biasa pun dapat menjadi Amicus Curiae asalkan orang tersebut mengikuti kasus yang terjadi.

Walaupun belum dapat diposisikan sebagai alat bukti yang sah, Amicus Curiae dalam pembuktian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim. Hal ini mengacu pada ketentuan dalam KUHAP dan teori Pembuktian Negatif yang dianut Indonesia bahwa dalam pembuktian diperlukan adanya keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana selain ketersediaan alat bukti. Keyakinan hakim haruslah didasarkan pada alasan-alasan yang rasional. Dalam konteks ini, Amicus Curiae digunakan untuk membantu hakim membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum putusan pidana dijatuhkan. Maka, kekuatan pembuktian Amicus Curiae terletak pada keyakinan hakim itu sendiri dalam menilai kasus. Hakim menilainya secara faktual disertai tolok ukur relevansi dari Amicus Curiae yang diajukan terhadap perkara tersebut.

Kasus Pidana yang Mempertimbangkan Amicus Curiae

Penulis menemukan dua putusan pidana di Indonesia yang menjadikan Amicus Curiae sebagai dasar pertimbangan hukum oleh hakim sebagai berikut.

  1. Amicus CuriaeInstitute for Criminal Justice Reform (ICJR) untuk Kasus Yusniar

Yusniar adalah seorang ibu rumah tangga asal Makassar yang dilaporkan seorang anggota DPRD atas postingan Facebook yang diunggahnya setelah rumah orang tuanya dibongkar oleh pihak DPRD terkait. Yusniar dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik.

ICJR memberikan pendapat dalam bentuk Amicus Curiae kepada Pengadilan Negeri Makassar. Ada dua poin penting yang disampaikan oleh ICJR. Pertama, bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan absolut sehingga yang bisa melaporkan hanya korban. ICJR merujuk pada putusan Mahkamah Agung No 183 K/Pid/2010 tentang kasus aduan pencemaran nama baik oleh Direktur PT Duta Pertiwi. Kedua, harus terdapat penyebutan nama beserta tuduhan tertentu untuk bisa melaporkan seseorang telah melakukan pencemaran nama baik atas dasar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hal ini Sejalan dengan Putusan Nomor: 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi yang mewajibkan penyebutan nama untuk dapat dikategorikan sebagai ‘korban’ dalam perkara terkait.

Faktanya dua hal tersebut tidak terpenuhi dalam kasus Yusniar. Pendapat ICJR sebagai pengaju Amicus Curiae beserta alasannya dipertimbangkan majelis hakim dalam Putusan Nomor 1933/Pid.Sus/2016/PN. Mks dengan vonis bebas dari dakwaan untuk Yusniar.

  1. Amicus Curiae dari Gabungan Berbagai Pihak untuk Bharada E

Gabungan antara ICJR, Public Interest Lawyer Network (PIL-NET), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengajukan Amicus Curiae untuk melindungi Bharada Eliezer Pudihang Lumiuw (Bharada E), terdakwa dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Poin utama yang disampaikan dalam Amicus Curiae dari gabungan pihak tersebut adalah bahwa Bharada E memenuhi kualifikasi sebagai  Justice Collaborator (JC) berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011, dan Peraturan Bersama 5 Lembaga Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi JC. Karena memenuhi kualifikasi, partisipasi Bharada E sebagai JC patut menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan hukumannya. Hakim menerima pendapat dari Amicus Curiae tersebut dalam amar Putusan Nomor 798/PID.B/2022/PN Jkt.Sel sehingga hukuman Bharada E diringankan dari tuntutan yang awalnya 12 tahun menjadi 1 setengah tahun.

Pembahasan di atas menunjukkan bahwa peradilan pidana di Indonesia menerima praktik Amicus Curiae. Namun, pengaturan formil mengenai Amicus Curiae masih sangat umum yakni berpegang pada Pasal 5 (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Pada hukum pidana sendiri, pengakuan dan penafsiran pasal 180 (1) KUHAP masih sangat terbatas. Keberadaan Amicus Curiae pada peradilan pidana hingga saat ini dikategorikan sebagai informasi yang mendasari keyakinan hakim dalam sistem pembuktian berdasarkan Pasal 183 KUHAP.

Irene Amadea Rembeth, S.H. dan Mirza Marali, S.H.

Published on Hukum Online.

Link : https://www.hukumonline.com/berita/a/meninjau-ulang-peran-amicus-curiae-dalam-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia-lt64e34a5d244d2/?page=1


<< Back

Close

Search