10Sep
Keterlibatan negara/lembaga peradilan sangat dibutuhkan dalam hal pengawasan dan/atau penjatuhan putusan pemberhentian advokat.
Delapan belas tahun setelah diundangkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), belum pernah sekalipun diamandemen. Padahal hukum bersifat dinamis dan profesi advokat juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat (responsive law). Terlebih lagi, banyak ketentuan-ketentuan di dalam UU Advokat yang tidak sesuai dengan praktik profesi advokat secara internasional dan sering diperdebatkan baik oleh ahli hukum maupun para praktisi hukum di Indonesia.
Advokat di Indonesia masih saling berdebat terkait prinsip pendirian organisasi advokat yang seharusnya dianut oleh negara ini. Terdapat perbedaan signifikan di mana ada tafsir bahwa UU Advokat menganut single bar association namun das sein-nya berbeda, di mana saat ini Indonesia memiliki banyak sekali organisasi advokat (multi bar association) yang menaungi banyak advokat. Selain itu, ada juga sistem organisasi advokat lain yang bisa diterapkan dan juga dianut oleh beberapa negara, yakni federation of bar associations, di mana organisasi-organisasi advokat yang ada bergabung dalam federasi di tingkat nasional, dalam hal ini sifat keanggotaannya adalah ganda, yaitu pada tingkat lokal dan nasional.
Kemudian, terdapat pula perbedaan pemahaman yang sangat fundamental terkait status advokat, di mana di dalam Pasal 5 UU Advokat disebutkan bahwa “advokat berstatus sebagai penegak hukum” yang mana ketentuan ini bertentangan dengan ruh dari profesi advokat yang berpaham bahwa advokat bukanlah penegak hukum seperti polisi yang memiliki police powers sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 United Nations Code of Conduct for Law Enforcement Officials 1979.
Perlu disadari para penyusun undang-undang bahwa asal muasal advokat dikenal sebagai penegak hukum adalah adanya konsep “lembaga catur wangsa” yang dikembangkan di Era Orde Baru di tahun 1970-an. Konsep “catur wangsa” mensejajarkan hakim, jaksa, polisi, dan advokat, padahal fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing di profesi yang berbeda. Menurut pengertian teori sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) advokat sebagai profesi hukum (legal profession) statusnya berseberangan dengan penegak hukum (law enforcement official) seperti jaksa, polisi serta hakim. Fungsi advokat dalam sistem peradilan pidana adalah membela klien yang sedang diperiksa/disidik, diinterogasi, didakwa, dituntut, ditahan, serta diadili.
Lebih lanjut, persoalan yang paling signifikan dalam implementasi UU Advokat adalah soal penegakan pelanggaran kode etik profesi advokat serta bagaimana nasib advokat setelah diberhentikan dari profesinya jarang sekali dibahas oleh ahli hukum Indonesia. Tak heran dalam kasus-kasus advokat yang melakukan pelanggaran kode etik profesi advokat, banyak yang tidak tahu harus memberikan respon seperti apa.
Seorang advokat yang melakukan pelanggaran undang-undang dan pelanggaran kode etik advokat tentu harus menghadapi tindakan yang dijatuhkan atas perbuatannya tersebut. Tentunya penindakan yang diberikan oleh UU Advokat bentuknya bervariasi, mulai dari: teguran lisan, teguran tertulis, skorsing, pemberhentian sementara, dan yang paling berat adalah pemberhentian tetap dari profesi advokat.
Menurut UU Advokat, seorang advokat dapat diberhentikan atas permohonan sendiri, dijatuhi pidana yang telah berkekuatan hukum tetap atas tindak pidana dengan ancaman 4 tahun atau lebih, serta atas keputusan organisasi advokat dalam pelanggaran etika profesi advokat.
Ketentuan mengenai pemberhentian advokat sendiri kurang diatur secara komperehensif di dalam UU Advokat. Definisi pemberhentian advokat, baik pemberhentian sementara maupun pemberhentian tetap tidak ditemukan dalam UU Advokat maupun Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). Hanya ketentuan sanksi berupa pemberhentian sementara dan tetap yang diatur di dalam UU Advokat, KEAI, serta oleh masing-masing organisasi advokat. Organisasi advokat juga diberi mandat untuk memberhentikan seseorang dari profesi advokat, yang mengakibatkan advokat tersebut secara otomatis juga diberhentikan dari organisasi advokat yang menaunginya. Secara final, advokat yang telah diberhentikan (disbarment) tidak berhak menjalankan profesi advokat.
Perbandingan dengan AS
UU Advokat saat ini belum komperehensif mengatur segala hal mengenai advokat. Salah satunya adalah Indonesia tidak memiliki aturan tertentu terkait syarat-syarat kembalinya seorang advokat untuk dapat berpraktik setelah menjalani hukuman skorsing dalam hal dirinya diberhentikan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan secara matang bagaimana konsep terbaik yang sebaiknya diimplementasikan di negara ini.
Tidak dikenalnya definisi dan syarat-syarat kembalinya seorang advokat berpraktik setelah menjalani hukuman pemberhentian tetap, tentu terlihat sangat kontras apabila kita bandingkan dengan negara lain yang telah memiliki aturan yang jelas mengenai hal tersebut, contohnya negara Amerika Serikat.
Meski sistem hukum negara ini berbeda dengan AS, ketentuan mengenai penegakan kode etik profesi advokat jelas dan terang benderang diatur di dalam kode etik profesi advokat negara tersebut. Mulai dari sanksi ringan, sanksi berat, hingga tata cara kembalinya seorang advokat beracara (reinstatement/readmission) setelah menjalankan sanksi yang dijatuhkan oleh negara.
Merujuk kepada Poin 2.3 American Bar Association Standards for Imposing Lawyer Sanctions, As Approved, February 1986, And as Amended, February 1992 (Standards for Imposing Lawyer Sanctions), Suspensionadalah “Suspension is the removal of a lawyer from the practice of law for a specified minimum period of time.” Sedangkan merujuk kepada Poin 2.2 Standards for Imposing Lawyer Sanctions, Disbarment adalah: “Disbarment terminates the individual’s status as a lawyer.”
Keputusan Suspension dan Disbarment dijatuhkan oleh pengadilan setelah melalui berbagai tahapan dan persyaratan dalam perundang-undangan dan peraturan lain yang dimiliki oleh negara tersebut. Dalam Poin 2.10 Standards for Imposing Lawyer Sanctions, dijabarkan bahwa “In jurisdictions where disbarment is not permanent, procedures should be established to allow a disbarred lawyer to apply for readmission. Procedures should be established to allow a suspended lawyer to apply for reinstatement.”
Amerika Serikat memberikan kesempatan bagi para advokat yang melakukan kesalahan dan dikenakan keputusan Suspension/Disbarment untuk kembali berpraktik melalui tahapan Reinstatement/Readmission yang diatur di dalam Standards for Imposing Lawyer Sanctions. Dengan ketentuan ini, maka seorang advokat dapat kembali berpraktik setelah menjalani keputusan Suspension/Disbarment yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung/Supreme Court. Yang mengeluarkan keputusan sanksi terhadap advokat adalah pengadilan berdasarkan Commentary Rule 10 Point A Model Rules for Lawyer Diciplinary Enforcement, sebagai berikut: “Since the court has exclusive responsibility to license lawyers, it has the sole authority to remove the license.”
Syarat–syarat secara formil maupun materiil yang harus dipenuhi dan pembuktian yang harus dilakukan dalam rangka Reinstatement/Readmission advokat bertujuan untuk menjaga integritas dan kualitas advokat tersebut untuk dapat kembali lagi memberikan jasa hukum kepada masyarakat. Syarat-syarat tersebut dijabarkan jelas dalam Poin E.5 Rule 25 Model Rules for Lawyer Diciplinary Enforcement (American Bar Association), beberapa di antaranya adalah: (i) Advokat tidak terlibat atau berusaha untuk terlibat dalam praktik hukum yang tidak sah selama periode penangguhan atau pemberhentian, (ii) Advokat mengakui kesalahan dan keseriusan tindakan buruk yang menyebabkan advokat ditangguhkan atau diberhentikan, (iii) Advokat tidak terlibat dalam pelanggaran profesional lainnya sejak penangguhan atau pemberhentian, (iv) seorang advokat yang telah diberhentikan harus lulus ujian advokat dan ujian karakter dan kelayakan, (v) dan lain-lain.
For more article, please click:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt613abd6cef241/menelusuri-nasib-advokat-setelah-diputus-melanggar-kode-etik/
Published on Hukum Online
Written by Frans H. Winarta