News

03Nov

Mencari Pemimpin Pemersatu

election, political, social, Democracy

Bangsa Indonesia kembali harus menghadapi pemilihan kepala daerah yang akan dilakukan secara serentak pada Februari 2017 nanti. Namun, suhu politik sudah mulai memanas di penghujung tahun 2016 ini. Dalam sistem demokrasi, perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Perbedaan itulah yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang apabila dapat dikelola dengan baik akan menjadi pendorong bagi peradaban bangsa Indonesia.

Pemilihan umum, baik dalam tingkat Kabupaten/Kotamadya, Provinsi, bahkan hingga Nasional sepatutnya dilihat sebagai sebuah cara untuk menggapai kekuasaan yang berorientasi pada keutuhan bangsa. Kekuasaan yang berorientasi pada unity in diversity, kebhinekaan dalam kesatuan sehingga pembangunan haruslah menyentuh dan berdampak positif bagi seluruh elemen bangsa Indonesia. Dengan demikian, seharusnya tidak ada rakyat yang hanya sebagai penonton saja dalam demokrasi, semua haruslah menjadi peserta aktif dalam demokrasi baik dalam soal memilih ataupun dipilih.

Sayangnya, kita masih sering gagal mengelola perbedaan dan malah cenderung memainkan sentimen agama, suku, dan etnisitas untuk memenangkan pemilihan umum. Sebagai akibatnya, kita meletakkan bangsa Indonesia yang begitu bhineka ini dalam sebuah kotak bersekat. Kita mengotak-kotakkan suku, agama, budaya tertentu yang dianggap layak ataupun tidak layak untuk ikut andil dalam pembangunan bangsa kita. Soal agama dan etnis acapkali dijadikan sebuah senjata untuk menjatuhkan lawan-lawan politik ataupun mendulang simpati dari para calon pemilih karena isu tersebut rupanya masih sangat sensitif bagi bangsa Indonesia sendiri. Padahal, jika kembali pada orientasi kebangsaan, tentunya penggunaan agama dan suku sebagai latar belakang menolak seseorang bukanlah pertimbangan yang tepat. Apalagi jika mengingat negara ini didirikan dari berbagai macam perbedaan, namun para pendiri bangsa (the founding fathers) amatlah yakin bahwa hanya semangat persatuan dan kesatuan yang dapat menjembatani berbagai macam perbedaan tersebut.

Bung Hatta dalam pidatonya di hadapan sidang BPUPKI pada tanggal 30 Mei 1945 menekankan bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Bung Hatta kala itu mengingatkan kembali akan fenomena pemisahan antara negara dan agama (kerk en staat gescheiden) di negara-negara Eropa. Bung Hatta tidak sendirian. Bung Karno jauh-jauh hari dalam tulisannya di “Pandji Islam” bahkan mengutip Halide Edib Hanoum bahwa dimana pemerintah campur tangan dalam urusan agama, di situ ia merupakan satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan. Oleh karena itu, janganlah bangsa ini kembali terkotak-kotak dalam persoalan agama dan suku di dalam perkembangan demokrasinya, malahan haruslah lebur dalam suatu nasionalisme, patriotisme yang sama untuk berjuang demi mengentaskan musuh bersama seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kebodohan, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, gaya hidup mewah berlebihan, krisis moral, dan isu-isu sosial yang mudaratnya dirasakan oleh semua kaum dan bangsa.

Untuk dapat mencapai hal ini, rakyat Indonesia harus dididik untuk tidak bermain-main apalagi menggunakan agama di dalam berpolitik. Dibutuhkan tokoh-tokoh agama yang menyejukkan nurani sehingga ketika ada percikan konflik justru menjadi pemadam konflik dan bukan pemantik masalah. Juga dibutuhkan tokoh-tokoh politik yang punya akal sehat, nurani, dan prinsip yang teguh dalam soal nasionalisme bangsa. Singkatnya kita perlu tokoh-tokoh bangsa yang berwatak pemersatu, bersemangat dalam mencapai kemakmuran bersama, dan tidak lupa akan cita-cita para pendiri bangsa kita.

Bangsa kita didirikan dalam sebuah kondisi yang memprihatinkan, namun beruntung memiliki tokoh-tokoh cerdas dan berjiwa lapang dalam menyikapi perbedaan. Sekarang bangsa kita dalam kondisi yang jauh lebih baik, masakah tidak ada satupun tokoh bangsa ini yang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan jiwa besar seperti M. Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, J. Latuharhary, A. A. Maramis, ataupun H. Agus Salim?

Kita perlu belajar dari bangsa lain yang berhasil merawat perbedaan menjadi aset. Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy pernah berkata, “I believe in an America where the separation of church and state is absolute - where no Catholic prelate would tell the President (should he be Catholic) how to act, and no Protestant minister would tell his parishioners for whom to vote - where no church or church school is granted any public funds or political preference - and where no man is denied public office merely because his religion differs from the President who might appoint him or the people who might elect him.”

Semoga saja, sistem demokrasi yang kita pilih menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mampu menjadi pemersatu bangsa yang majemuk ini. Dan juga menghasilkan rakyat yang lebih dewasa dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan, rakyat yang cerdas dalam memilih kinerja, bukan malah empermasalahkan soal suku dan agama. Namun yang jelas, untuk itu semua, dibutuhkan anak-anak bangsa yang berjiwa Pancasila, yang mau merangkul semua dan mengingat bahwa yang berbeda dengannya pun adalah saudara sebangsa.

Written by Frans Hendra Winarta

Published on Koran Seputar Indonesia

<< Back

Close

Search