26Aug
Sungguh sebuah tamparan hebat kepada pemerintah Indonesia dan pelajaran yang berharga bagi segenap rakyatIndonesiasaat kita menghadapi persoalan status kewarganegaraan ganda mantan menteri ESDM yang hanya menjabat selama 20 (dua puluh) kemarin.
Masalah semakin bertambah ketika keberadaan kewarganegaraan ganda ini justru ditanggapi secara reaktif dengan usulan untuk mengubah UU Kewarganegaraan. Hal ini menunjukkan ada yang salah dengan pemetaan permasalahan yang terjadi dan solusi yang seharusnya diambil oleh para pemangku kekuasaan negara ini. Oleh karena itu, tidak salah apabila muncul dugaan bahwa tengah timbul upaya-upaya pengalihan isu demi melindungi kelalaian yang terjadi dalam hal penunjukan menteri.
Jika benar bahwa usulan pengubahan UU Kewarganegaraan hanya untuk menjadi justifikasi bagi kesalahan yang ada, hal ini tidak baik bagi perkembangan hukum dan demokrasi di negara kita. Mengubah undang-undang demi melindungi kesalahan penguasa bukanlah ciri pemimpin di sebuah negara hukum. Jika kita memegang teguh kedaulatan hukum, maka sekalipun langit runtuh, hukum harus tetap tegak (fiat justitia ruat caelum).
Sesuai dengan UUKewarganegaraan,Indonesiatidak menganut asas kewarganegaraan ganda. kecuali bagi anak yang lahir dari pernikahan campuran. Namun itupun harus memilih salah satu kewarganegaraan kelak ketika yang bersangkutan telah berusia 18 tahun.
Ketidaktahuan, ketidakprofesionalan, dan ketidakpatuhan terhadap hukum dan konstitusi merupakan akar dari munculnya persoalan ini. Masyarakat pun hingga masih bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi di negara besar ini. Jika ini persoalan yang tidak sepatutnya dibesar-besarkan, mengapa kelalaian semacam ini sering kali terjadi pada penyelenggara negara saat ini?
Sesuai dengan prinsip hukum Indonesia, semua orang harus dianggap tahu atas diterapkannya sebuah peraturan perundang-undangan (presumptio iures de iure), dan ketidaktahuan akan sebuah peraturan perundang-undangan bukanlah alasan untuk menjadi pelanggar undang-undang (ignorantia legis neminem excusat). Jadi seseorang tidak bisa mengelak dengan alasan tidak tahu ada suatu hukum yang mengatur hal tertentu di dalam sebuah perundang-undangan. Apalagi jika yang mengelak dengan alasan itu adalah pemerintah.
Status kewarganegaraan tidak sekedar berkutat soal paspor maupun soal administratif perjalanan lintas negara. Soal kewarganegaraan menyangkut juga masalah janji setia (oath of allegiance) kepada negara, baik kepada RepublikIndonesia atau kepada negara lain. Janji setia ini mempengaruhi tindak-tanduk yang bersangkutan, apalagi jika ditunjuk menduduki jabatan publik yang bertugas untuk mengambil kebijakan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak dan kelangsungan Republik ini. Status kewarganegaraan ganda tentunya menimbulkan pertanyaan apakah yang bersangkutan memiliki loyalitas ganda juga?
Untuk mendapatkan status kewarganegaraan sebuah negara bukanlah hal yang mudah dan main-main. Terlebih lagi untuk melepaskan status kewarganegaraan tersebut, tidak cukup hanya dengan mengembalikan paspor dari negara yang bersangkutan, ada tahapan-tahapan khusus yang perlu dilakukan. Dalam konteksIndonesia, misalnya, menurut Pasal 23 UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, atau mempunyai paspor atausuratyang bersifat paspor dari negara asing atausuratyang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya merupakan salah satu alasan seseorang kehilangan statusnya sebagai WNI
Taat Azas dan Taat Hukum
Sebenarnya, tidak masalah menunjuk siapapun sosok yang diinginkan Presiden untuk menduduki jabatan menteri asal semua persyaratan yang ada dipenuhi sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemerintah harus taat kepada azas-azas umum pemerintahan yang baik dan juga kepada hukum dan konstitusi sebelum mengambil kebijakan.
Kalau memang sosok Archandra benar-benar diperlukan oleh negara untuk mengabdi sebagai menteri, langkah-langkah naturalisasi untuk mendapatkan status sebagai WNI perlu ditempuh. Atau jika benar memiliki kewarganegaraan ganda, yang bersangkutan bisa melepaskan kewarganegaraan asingnya sesuai dengan hukum yang berlaku pula. Namun tentunya, rahasia negara menjadi taruhannya di sini. Apalagi yang bersangkutan sebelumnya pernah berkewarganegaraan asing. Presiden perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan mengingat ketahanan dan kedaulatan energi bangsa terkait erat dengan hajat hidup rakyat dan kedaulatanIndonesiasebagai bangsa merdeka.
Apapun alasannya, hal ini perlu menjadi perhatian bersama. Janganlah menjadi bangsa yang tidak teliti dan tidak berpikir panjang. Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) sesuai dengan UUD 1945, sehingga apapun langkah konkrit yang dilakukan pemerintah harus dengan pertimbangan hukum yang matang. Hukum jangan hanya dipandang sebagai penghias jalannya pembangunan dan kerja pemerintah. Konsekuensi ke depannya dapat lebih fatal lagi apabila pemerintah kerap abai terhadap hukum yang ada.
Progresivitas Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK saat ini merupakan kado yang indah bagi rakyat, apalagi dengan kerja nyata yang dihasilkan oleh pemerintahan saat ini seolah ingin mempertegas bahwa pemerintah telah berdaya upaya semaksimal mungkin demi kemakmuran bangsa dan kemajuan negara. Namun, demi menuju pemerintahan yang lebih baik ke depan tersebut, tentunya rakyat juga mengharapkan profesionalitas dan kualitas yang mumpuni pula dari para penyelenggara negara.
Oleh karena itu, ada baiknya apabila Presiden memetik pelajaran penting dari kasus ini dan membangun tim hukum yang solid dan berintegritas untuk dapat memberikan masukan yang sehat kepada Presiden. Jangan sampai, agenda-agenda penting kebangsaan menjadi terhambat karena Presiden tidak didukung oleh tim hukum yang solid. Tanpa hukum yang kuat, mustahil pembangunan dan agenda kerja yang dicanangkan oleh Presiden dapat terlaksana dengan mulus.
Written by Frans Hendra Winarta
Published on koran Seputar Indonesia