News

12Aug

Mafia Tanah Problem Nasional dan Dirasakan Penderitaannya oleh Rakyat

mafiatanah

Sebagai negara hukum peran peradilan itu sangat penting dalam menghadapi kasus mafia tanah ini. Diperlukannya sinergi yang kuat dari Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, Kapolri, Kapolda, DPR serta DPRD agar mafia tanah dapat diberantas.

Beberapa waktu yang lalu telah diangkat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru Hadi Tjahjanto. Beliau adalah seorang mantan Panglima TNI. Harapan besar tentu ada pada beliau dari para korban “Mafia Tanah”, tetapi hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan mengingat problem nasional ini sudah lama dihadapi rakyat Indonesia dari atas sampai ke bawah.

Harapan ini muncul karena beberapa pejabat BPN disinyalir memanipulir akta-akta tanah, berarti orang dalam turut serta atau menjadi salah satu aktor intelektual yang memprakarsai atau mengendalikan mafia tanah di Indonesia. Bukan saja mereka terlibat dan memprakarsai kejahatan ini tetapi turut serta mengendalikan mafia tanah di Indonesia yang sudah lama jadi problem nasional.

Pejabat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru harus terus melanjutkan dengan melibatkan semua pihak yang dapat membereskan problem mafia tanah ini. Seperti keterlibatan DPR, DPRD, para penegak hukum dari mulai polisi sampai kejaksaan dan lembaga peradilan serta semua komponen masyarakat seperti akademisi dan masyarakat sipil secara umum.

Contoh-contoh yang sudah ada seperti mantan pejabat atau mantan wakil menteri dan mantan Duta Besar, yaitu Dino Patti Djalal yang pernah menjadi korban mafia tanah perlu ditelusuri dan diangkat persoalannya untuk dijadikan contoh bagaimana mafia tanah itu beroperasi ditunjang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan bagaimana mafia tanah digerakkan dan keterlibatan pihak-pihak tertentu. Lembaga peradilan yang selama ini bisa menjadi benteng terakhir ternyata juga terlibat dalam praktik mafia tanah.

Ada kasus Peninjauan Kembali yang seharusnya menurut peraturan yang berlaku tidak boleh dilakukan kedua kali masih bisa dijadikan perkara baru dengan mendaftarkan kembali gugatan perdata dan berlanjut kepada perkara Peninjauan Kembali kedua dan seterusnya. Padahal berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) No.10 tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali sudah jelas kalau Peninjauan Kembali hanya boleh dilakukan satu kali.

Berikut adalah isi dari SEMA RI Nomor 10 Tahun 2009 tersebut:

  1. Permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang-Undang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan mengacu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung;
  2. Apabila suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.

Sebetulnya perkara yang sudah mempunyai ketetapan hukum (in kracht van gewijsde) yang artinya adalah harus dieksekusi dan tidak boleh di banding atau kasasi lagi apalagi di PK (Peninjauan Kembali). Semua upaya hukum itu tidak dapat dilakukan lagi karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Peran pengadilan ini perlu perhatian kembali dari Mahkamah Agung RI dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang dijabat oleh Hadi Tjahjanto. Kasus-kasus tersebut perlu menjadi perhatian Kapolri, Kapolda, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, DPR serta DPRD mengingat contoh-contoh perkara tersebut telah membuat heboh disamping pejabat-pejabat BPN yang diketahui ikut bermain dalam mengendalikan dan memprakarsai mafia tanah tersebut.

Para mafia tanah tidak lagi menggunakan modus lama, seperti mengalihkan hak kepemilikan dengan memalsukan sertifikat tanah secara diam-diam melalui proses jual beli. Modus baru yang kini terungkap, mafia tanah memanfaatkan celah saat sertifikat belum dipegang penguasa lahan. Modusnya, para mafia tanah bekerja sama dengan oknum pegawai BPN daerah untuk mencari tanah yang belum diurus sertifikatnya.

Setelah menemukan target, pelaku bekerjasama membuat dokumen bukti kepemilikan tanah palsu sebagai pembanding atas dokumen yang dimiliki korban. Selanjutnya, pegawai BPN dilibatkan dalam pembuatan gambar ukur atau peta bidang palsu, serta dalam penerbitan sertifikat. Ini tidak lagi menjadi isu “business as usual” tetapi sudah begitu mencoloknya keterlibatan para pejabat BPN dan para penegak hukum sehingga perlu perhatian khusus dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Presiden RI secara khusus.

Kalau tidak, maksud untuk mereformasi secara total lembaga BPN ini harus diikuti cara-cara Konkrit untuk mengatasi mafia tanah atau akan mati suri kalau tidak dijadikan proyek nasional untuk mereformasi lembaga BPN ini dan keterlibatan para penjabatnya dan para penegak hukum dan hakim dalam lembaga peradilan. Melucuti dan memecat pejabat BPN yang bekerja tetap atau paruh waktu perlu diadakan sebagai “shock therapy” untuk mengganti pejabat-pejabat yang merusak citra seluruh korps Badan Pertanahan Nasional.

Pada kasus terakhir yang terungkap ke publik, terdapat 30 tersangka yang terlibat. Sebanyak 13 orang di antaranya pegawai BPN di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Cilincing, Jakarta Utara, Babelan, dan Bekasi. Gebrakan ini harus dilakukan juga di semua wilayah di Indonesia sebagai gerakan nasional.

Sangat diperlukan disiplin, profesionalisme dan tekad bulat untuk mengawasi secara konsisten dan kontinu lembaga BPN ini, juga perhatian dari Pemerintahan Joko Widodo secara khusus. Jangan sampai harapan masyarakat akan tekad bulat untuk mereformasi total lembaga BPN ini pupus begitu saja karena problem mafia tanah ini sudah lama tidak tertangani dan seolah-olah dibiarkan begitu saja tanpa penanganan khusus dan serius. Rakyat sudah putus asa mengingat seolah-olah problem mafia tanah ini tidak ada solusinya dan sudah lama dibiarkan pemecahannya yang konkrit dari aparat pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang bertanggung jawab terlibat.

Semua unsur-unsur yang menunjang pemberesan mafia tanah itu harus diawasi dan diperlukan reformasi total. Kalau perlu dengan pemecatan atau penggantian pejabat yang diberi wewenang meregistrasi dan menyelenggarakan pendaftaran tanah yang diperjualbelikan atau dihibahkan, diwariskan dan bentuk-bentuk lain secara hukum, misalnya ruilslag yang bertahun-tahun tidak beres diselenggarakan dan menjadi problem selama ini.

Semua persoalan ini menumpuk dan menjadi pekerjaan rumah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru ini. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus berkoordinasi dengan DPR, lembaga-lembaga penegak hukum dan badan peradilan serta unsur-unsur akademi, intelektual dari masyarakat sipil dan aktivis untuk memecahkan problem nasional ini sehingga dapat dirasakan rakyat, sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.

Sebagai negara hukum peran peradilan itu sangat penting dalam menghadapi kasus mafia tanah ini. Diperlukannya sinergi yang kuat dari Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, Kapolri, Kapolda, DPR serta DPRD agar mafia tanah dapat diberantas. Kita juga dapat melihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 6 yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” dan juga ditegaskan dalam pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1960 yang isinya mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan menentukan penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong.

Para pelaku mafia tanah ini sudah disumpah menurut jabatannya sebagai pegawai negeri sipil dan melarang perbuatan tersebut tetapi kenapa mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme sehingga berbuat yang membuat penderitaan rakyat dan jangan dilupakan meminta bantuan kepada lembaga peradilan dan Mahkamah Agung RI dalam mengatasi problem nasional ini. Sebetulnya tidak disangka bahwa lembaga peradilan terbawa-bawa oleh praktik “Mafia Tanah” ini, suatu lembaga yang katanya “Wakil Tuhan” dapat terlibat dalam mafia tanah.

Sebetulnya sudah jelas putusan-putusan pengadilan apalagi peraturan atau Surat Edaran Mahkamah Agung RI melarang suatu putusan saling bertentangan atau conflicting antara satu putusan terhadap putusan yang lain. Semoga benteng terakhir keadilan ini dapat membantu mengatasi persoalan-persoalan di Indonesia.

*)Prof. Dr. Frans H. Winarta, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan dan Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional RI (Tahun 2000-2015).

Published on Hukum Online

Link: https://www.hukumonline.com/berita/a/mafia-tanah-problem-nasional-dan-dirasakan-penderitaannya-oleh-rakyat-lt62f5fe83d8051/

<< Back

Close

Search