News

14Dec

Korupsi Yudisial Begitu Mengakar di Indonesia Tetapi Tidak Berhasil Diberantas

korupsi, yudisial

Hakim tidak boleh terjebak dalam beberapa larangan, seperti kolusi dengan para pihak dalam suatu perkara yang diperiksanya, apalagi menerima bingkisan atau pemberian atau janji dari pihak yang berperkara.

Setelah 20 tahun lebih International Bar Association (“IBA”) mendeklarasikan korupsi yudisial di Amsterdam dalam Biennial Conferencenya di Amsterdam tahun 2000. Praktek korupsi yudisial tetap saja berlanjut terutama di negara-negara berkembang. Semula sebelum IBA mendeklarasikan judicial corruption di Amsterdam, sekitar 20 (dua puluh) lawyer dan jurist dunia sudah berkumpul di International Commission of Jurists untuk mendefinisikan judicial corruption yang kemudian diadopsi oleh IBA di Amsterdam tahun 2000. Tetapi setelah 20 (dua puluh) tahun deklarasi ini berjalan, dunia masih diliputi oleh korupsi yudisial yang menggerogoti dunia terutama dalam sistem hukum negara-negara tertentu termasuk Indonesia.

Upaya untuk mensosialisasikan etika hakim, jaksa dan polisi sudah seringkali dilakukan. Akan tetapi organisasi para advokat justru terpecah belah dan pengelolaan etika profesi advokat semakin terbengkalai dan berantakan. Etika profesi advokat, walaupun diajarkan di fakultas hukum dan pelatihan-pelatihan diadakan dalam pendidikan dan pelatihan advokat atau hukum acara seolah-olah tidak mempan dan terkesan percuma diadakan karena para peserta pendidikan hukum dan advokat sering kali mengabaikan etika profesi advokat sebagai embel-embel saja dan yang penting adalah bagaimana mencari uang sebanyak mungkin dan menjadi kaya. Ini mungkin karena pengaruh hedonisme, materialisme dan konsumerisme yang melanda dunia khususnya dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan industri.

Kita masih ingat berbagai cara dan kursus serta pelatihan sudah diadakan untuk para penegak hukum seperti polisi dan jaksa serta para hakim tetapi perhatian mereka larut di dalam rutinitas pekerjaan sehari-hari dan tidak memperhatikan etika profesi di dalam menjajaki dunia profesinya seolah olah mendalami profesi itu omong kosong dan percuma saja. Semua usaha untuk memerangi korupsi percuma saja karena korupsi sudah mengakar dan perlu mengikutsertakan berbagai pihak dan elemen di masyarakat seperti pemerintah serta para penegak hukum, advokat dan hakim yang mau menciptakan pro good governance yang anti korupsi dalam arti yang sebenarnya dan seluas-luasnya tanpa itu rencana membersihkan good governance itu percuma saja dilakukan. Praktek-praktek jual beli perkara atau kasus sudah begitu mengakar seperti memperpanjang penahanan dan penangkapan sudah dijadikan objek, memperjualbelikan SP 3 atau penghentian pemeriksaan perkara sudah menjadi barang dagangan atau komersial, memperjualbelikan penuntutan pidana dan semua cara untuk tumbuhnya KKN - korupsi, kolusi dan nepotisme. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh pemerintah ini tidak akan bisa mengatasi krisis penegakan hukum ini. Undangan untuk berinvestasi di Indonesia tidak akan berhasil kalau penegakan hukum rendah dan investor akan memilih negara lain untuk berinvestasi kalau tidak ada jaminan penegakan hukum dan kepastian hukum. Ini semua berimbas kepada berapa banyak perkara arbitrase yang memberikan solusi cepat dan internal tidak terbuka untuk publik dan diluar liputan media massa menjadi ukuran bagaimana sengketa bisnis dan perdagangan diselesaikan secara memuaskan dengan arbitrase perdagangan. Semua itu ada indikatornya dan ukurannya untuk para investor.

Korupsi yudisial ini tidak hanya dilakukan oleh para hakim tetapi juga para advokat, panitera, jaksa, polisi dan para pencari keadilan (Justitiabelen), tetapi juga oleh para banker dan pebisnis. Ketidakindependenan pengadilan menyebabkan korupsi yudisial semakin marak melalui jual beli putusan perkara.

Korupsi yudisial; yang dirumuskan IBA dalam Biennial Conferencenya di Amsterdam tahun 2000, yang diambil dari Deklarasi International Commission of Jurists adalah sebagai berikut:

         “Korupsi yudisial terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat/pengacara dan hakim). Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan.”

Pada dasarnya menurut Socrates ada empat perintah (Four Commandments) yakni:

  1. Mendengar dengan sopan, beradab (to hear courteously)
  2. Menjawab dengan arif dan bijaksana (to answer wisely)
  3. Mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun (to consider soberly)
  4. Memutus tidak berat sebelah (to decide impartially)

Hakim harus menemukan, mengikuti dan mengerti akan nilai-nilai dan mempunyai perasaan tentang keadilan dalam masyarakat, sehingga keputusannya akan berdasarkan hukum dan rasa adil yang ada dalam masyarakat. Dia tidak boleh terjebak dalam beberapa larangan, seperti kolusi dengan para pihak dalam suatu perkara yang diperiksanya, apalagi menerima bingkisan atau pemberian atau janji dari pihak yang berperkara. Para pihak dan hakim harus mengerti bahwa juga pihak lain tidak bisa bertemu dihadapan atau diruang hakim kalau tanpa kehadiran lawannya. Barrister di Inggris tidak boleh bertemu kliennya dan hanya solicitor yang bertemu klien dan mengumpulkan bukti-bukti untuk berperkara. Setelah solicitor mengumpulkan bukti, barulah solicitor bertemu barrister dikantornya.

Yang penting menurut Henry J. Abraham, hakim harus mempunyai apa yang dinamakan judicial discretion yang maknanya adalah sikap Independen dan Imparsial dalam memutus perkara seperti yang dijabarkan:

“Dicerahkan oleh kecerdasan dan pembelajaran, dikendalikan oleh prinsip-prinsip hukum yang baik, keberanian yang teguh dikombinasikan dengan ketenangan, pikiran yang tenang, bebas dari keberpihakan, tidak terpengaruh oleh simpati atau dibelokkan oleh prasangka atau digerakkan oleh pengaruh apa pun kecuali hasrat yang luar biasa untuk melakukan yang adil. .”  (1993, The Judicial Process, New York: Oxford University Press, hal. 97).”

Judicial Corruption itu dapat ditanggulangi kalau saja semua hakim memberi keputusan berdasarkan judicial discretion yaitu dengan bertindak independen dan imparsial. Sekali lagi International Commission of Jurists (”ICJ”) dalam sebuah paper yang berjudul “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” ditulis oleh Hakim Agung S. Peete Lesotho,  Sun International Maseru, July 29, 2010 menyatakan bahwa dari seluruh jenis-jenis korupsi, judicial corruption merupakan kategori yang paling berbahaya (insidious) dan menjijikkan (odious), sebagaimana dinyatakan berikut (International Commision of Jurists: 2010):

“...dari semua jenis korupsi, korupsi yudisial mungkin yang paling berbahaya dan menjijikkan karena jenis korupsi ini menggerogoti dan menghancurkan pilar terpenting dari pemerintahan yang demokratis. Banyak yang telah ditulis tentang topik korupsi, tetapi korupsi yudisial menempati posisi yang paling dikecam. Korupsi memalsukan, menyumbat, mencemari, memutarbalikkan dan mendistorsi penyaluran keadilan.

Sebenarnya kode etik secara keseluruhan baik itu hakim, jaksa dan polisi sudah dilatih untuk kode etik nya agar mereka profesional dalam menjalankan tugasnya dan wewenangnya dengan demikian mereka sudah dibekali perilaku yang memadai dan dibekali dengan garis besar dari profesi mereka. Hakim harus sadar bahwa mereka diharapkan para pencari keadilan untuk memutus berdasarkan keadilan yang ada di dalam masyarakat, oleh karena itu seorang hakim diharapkan membawakan kode etik profesinya dengan sungguh-sungguh dan tidak boleh menerima pemberian atau uang suap dari para pihak dalam perkara. Untuk Anggota Kepolisian, anggotanya juga perlu memperhatikan Kode Etik Profesi Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kode Etik Profesi Kepolisian yang berbunyi sebagai berikut:

“Anggota Kepolisian Republik Indonesia harus selalu menghindari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya...”

Sedangkan untuk Jaksa, dalam keputusan Jaksa Agung No.5 Kep-052/JA/S/1979 dari Doktrin Tri Krama Adhyaksa disebutkan bahwa:

Bahwa seorang jaksa dilarang menerima atau mengharapkan pemberian dan tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dan pihak lain, termasuk membuat fakta hukum dalam menangani suatu perkara.

Demikian sebab-sebab Korupsi Yudisial ini disusun agar pemerintah dan masyarakat Indonesia sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi, terutama korupsi yudisial yang dilakukan orang-orang yang paham hukum tetapi agar bisa hidup mewah dan kaya mereka tidak segan-segan korupsi yang menyengsarakan masyarakat dan lembaga-lembaga negara.

 *)Prof. Dr. Frans H. Winarta adalah advokat di Jakarta dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.

Published on Hukum Online.

Link: https://www.hukumonline.com/berita/a/korupsi-yudisial-begitu-mengakar-di-indonesia-tetapi-tidak-berhasil-diberantas-lt63999baf55b54/?page=all

<< Back

Close

Search