21Jan
Korupsi dan suap sebagai manifestasi dari sifat rakus, ketidakjujuran, rendahnya martabat, ketiadaan integritas, dan hilangnya profesionalitas pada diri seseorang, pada dasarnya telah merusak seluruh tatanan negara yang telah ada. Dampak dari korupsi dan suap tersebut adalah kerugian negara yang nyata serta menurunnya kepercayaan publik, apalagi jika yang terlibat adalah para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan. Mereka yang tahu hukum seharusnya memberi teladan dan bukan memberikan contoh melanggar hukum atau mempermainkan hukum. Kejahatan mereka sungguh serius dan paling berbahaya dibandingkan dengan kejahatan lain.
Tak kalah penting, suap di sektor swasta juga kerap kali terjadi, namun belum mendapat perhatian lebih bahkan terlupakan. Secara internasional, di dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) telah diatur perihal suap di sektor swasta dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Tindakan suap di sektor swasta yang terdapat di dalam UNCAC contohnya adalah: tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment- kekayaan yang diperoleh dari cara tidak wajar), penggelapan kekayaan di sektor swasta, penyuapan di sektor swasta, dan perdagangan pengaruh. Meskipun begitu, beberapa poin yang termasuk di dalam suap di sektor swasta tersebut bersifat non-mandatory atau tidak ada kesepakatan di antara negara-negara peserta konvensi untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai tindak pidana. Karena sifat non-mandatory itulah hingga kini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas mengenai pemberantasan suap di sektor swasta.
Pada tahun 2016 memang terbit Peraturan Mahkamah Agung RI No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, tapi Perma tersebut belum mengatur penanganan korupsi di sektor swasta secara komperehensif. Oleh karenanya, Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengatur perihal penanganan suap di sektor swasta ke dalam perundang-undangan tersendiri. Apalagi berdasarkan survei yang ada, tingkat suap di sektor swasta di Indonesia cukup merisaukan. Pada akhir tahun 2018 kemarin, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa 80% kasus korupsi yang terjadi di Indonesia melibatkan pihak swasta. Wakil Ketua KPK, pada tahun 2017 yang lalu juga sempat menyatakan bahwa sektor swasta menempati peringkat pertama terlibat dalam kasus korups selama periode tahun 2014-2016.
Indonesia jelas kalah dengan banyak negara lainnya. Suap di sektor swasta sudah diatur di banyak negara dan memiliki ancaman pidana tersendiri, baik di dalam KUHP maupun di dalam undang-undang tersendiri. Contohnya: sejak tahun 1967 negara Belanda telah memasukan kebijakan pemidanaan suap di sektor swasta ke dalam KUHP-nya. Tahun 2016, Swiss juga memasukkan kebijakan pemidanaan suap di sektor swasta ke dalam KUHP-nya. Di Inggris mengenai suap di sektor swasta telah masuk ke dalam UU Anti-Suap tahun 2010. Selain itu, negara tetangga, Malaysia sudah memiliki undang-undang khusus terkait suap di sektor swasta, yaitu UU Anti Korupsi tahun 2009. Di negara-negara tersebut, suap di sektor swasta diatur karena dianggap sangat merusak dan merugikan sektor bisnis.
Kemauan Bersama
Secara umum, gencarnya pemberantasan korupsi mengganggu koruptor dan orang-orang yang hidup kotor tanpa memedulikan kejujuran dan hanya memedulikan kepentingan pribadi dan mereka sebetulnya adalah kelompok anasionalis. Ruang para koruptor semakin sempit, apalagi dengan adanya pembersihan lembaga peradilan dimana hakim dan panitera pengadilan bahkan advokat semakin banyak yang tertangkap. Pemerintah harus mendukung KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi yang telah mendarah daging di negara ini baik yang melibatkan pejabat maupun swasta. Jika semua instansi dan lembaga pemerintah mendukung dan mengamalkan pemberantasan korupsi bersama-sama dengan KPK, maka efek bola salju pemberantasan korupsi akan menghasilkan negara hukum yang bebas korupsi, atau minimal angka korupsi bisa ditekan semaksimal mungkin. Memang harus diakui gaji para penegak hukum dan hakim harus ditingkatkan sedemikian rupa seperti di negara-negara demokratis lain sehingga dilindungi dari godaan para penyuap yang memanfaatkan mereka untuk kepentingan dirinya.
Di lain sisi, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan tuntas seluruhnya jika pemerintah tidak turut memberantas suap yang terjadi sistematis di sektor swasta dan meluas ke berbagai bidang kehidupan seperti: ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Aturan perundangan mengenai suap di sektor swasta harus disusun secara komperehensif, sekaligus mengakomodir seluruh ketentuan yang ada di UNCAC. Barulah gerakan nasional anti korupsi akan semakin hebat dan sulit dibendung. Urusan pemberantasan korupsi di sektor swasta juga sebaiknya diserahkan kepada KPK, bukan Kepolisian RI.
Selain legislasi atas suap yang terjadi di sektor swasta tersebut, majelis hakim di pengadilan harus memberi vonis yang berat terhadap para koruptor. Karena hukuman ringan seperti vonis 2 tahun penjara bagi koruptor dalam kasus korupsi besar sungguh tidak sesuai dengan semangat anti-korupsi di negara ini. Pola hidup sederhana yang sudah lama dikumandangkan oleh pejabat negara juga tidak mempan karena kalah dengan pola hidup koruptor yang mewah, hedonis, konsumeristis, dan materialistis. Bahkan setelah divonis oleh majelis hakim, sifat tamak juga belum bisa hilang dari para koruptor. Hal tersebut dapat dilihat dari berita di media massa, dimana para terpidana korupsi mendapatkan privilege di dalam sel tahanannya asal mau membayar lebih.
Dari kesemuanya itu dapat disimpulkan, tidak ada yang namanya efek jera bagi pelaku korupsi. Seorang penyair bernama Percy Bysshe Shelley dalam “The Flower That Smiles Today” pernah berkata:“The flower that smiles today, tomorrow dies; All that we wish to stay, tempts and then flies; What is this world’s delight? Lightning, that mocks the night, briefs even as bright.” Para koruptor yang membaca tulisan ini harus sadar bahwa nafsu untuk mengumpulkan materi hanya bersifat sementara dan tidak abadi, kelak semuanya akan hilang lenyap dalam sekejap bagaikan halilintar di tengah malam.
Written by Frans Hendra Winarta
Published on Kompas