News

03Oct

Keyakinan Hakim Dalam Perkara Pidana

laws, social, criminal, crime

Media massa memberikan sorotan yang luar biasa dalam sidang perkara tindak pidana pembunuhan berencana atas Mirna yang masih berjalan di PN Jakarta Pusat. Dalam perkara dugaan tindak pidana ini, terlihat tekanan yang sangat kuat dari berbagai kalangan. Jaksa penuntut umum dan penasihat hukum sungguh bekerja keras dalam menjalani proses persidangan untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Sandra J Ball-Rokeach mengatakan bahwa media massa berpengaruh terhadap persepsi dan pengetahuan masyarakat terhadap kejahatan. Sehingga seharusnya masyarakat diberikan pengetahuan yang objektif tentang hukum, bukan hanya mementingkan popularitas. Tanpa disadari media massa dapat menggiring opini publik yang keliru tentang bagaimana seharusnya persidangan berjalan karena telah mencampuradukkan proses hukum dan opini publik.

Publik harus menyerahkan sepenuhnya proses pencarian kebenaran dan keadilan kepada jaksa penuntut umum, penasihat hukum, dan hakim dalam sidang perkara pidana ini. Jika tidak, hal tersebut bisa digolongkan dalam bentuk contempt of court atau menghina persidangan. Contempt of court bisa berupa: menghina, melecehkan, menganggap enteng, merongrong wibawa pengadilan baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, penasihat hukum, maupun oleh hadirin dan publik. Begitu pula dengan hal-hal seperti: memberi informasi atau publikasi yang sifatnya memihak, dan publikasi yang dianggap mencampuri suatu proses peradilan dalam perkara tertentu pun dianggap sebagai upaya untuk menghina persidangan. Meskipun aturan contempt of court belum ada di dalam KUHP Indonesia saat ini, publik harus mulai belajar bahwa yang dianggap sebagai contempt of court bukanlah hanya semata-mata berbuat gaduh di persidangan namun juga upaya-upaya lain yang dianggap mengganggu hingga mempengaruhi lancarnya proses peradilan.

Beyond Reasonable Doubt

Saat ini perkara dugaan tindak pidana pembunuhan berencana atas Mirna ini memasuki tahap pembuktian dimana pada sidang terakhir terdakwa memberikan keterangannya di muka persidangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Van Bemmelen, bahwa dalam hukum acara pidana, yang terpenting adalah mencari dan memperoleh kebenaran. Untuk dapat memperoleh kebenaran itu, pembuktianlah proses yang nantinya menghantarkan hakim semakin dekat kepada kebenaran. Maka, dalam sebuah sidang perkara pidana, tahap pembuktian merupakan proses yang paling penting dalam menggali kebenaran untuk menentukan apakah nantinya seorang terdakwa diputuskan bersalah atau tidak oleh hakim.

Beberapa minggu sebelumnya merupakan tahap pembuktian dimana jaksa penuntut umum menghadirkan beberapa saksi ahli untuk membuat terang dan jelas persidangan. Pihak penasihat hukum pun turut menghadirkan beberapa ahli sebagai saksi a de charge atau saksi yang meringankan terdakwa. Dalam proses menemukan kebenaran tersebut banyak hal dan istilah baru seperti di dalam bidang kedokteran, forensik, dan digital forensik yang berada di luar kompetensi majelis hakim, sehingga kehadiran para ahli tersebut dianggap perlu untuk membuat terang dan jelas peradilan yang sedang berjalan. Nantinya majelis hakim dalam mengambil keputusan bisa mempertimbangkan keterangan para ahli tersebut meskipun nilai keterangan ahli sama dengan alat bukti yang lain.

Terdakwa memiliki hak yang sama di hadapan hukum (equality before the law), oleh karenanya ia harus diperlakukan secara adil oleh pengadilan. Dengan adanya hak tersebut, atas dirinya wajib diberlakukan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan dirinya bersalah atas perbuatan yang dilakukannya. Sesuai dengan KUHAP, Indonesia menganut prinsip due process of law dimana dalam prinsip tersebut subjek hukum (tersangka/terdakwa) sangat dihormati hak asasinya. Yang paling penting adanya akses terhadap keadilan bagi terdakwa serta pengadilan yang adil dan tidak memihak. Jikapun majelis hakim memiliki sedikit saja keraguan, maka hakim harus menjatuhkan hukuman yang paling meringankan bagi terdakwa. Pada intinya dalam proses persidangan perkara pidana seorang terdakwa tidak boleh dihukum tanpa adanya kesalahan (geen straf zonder schuld).

Dalam peradilan pidana Indonesia, hakim tidak boleh terpaku hanya pada batas minimum pembuktian seperti yang telah diatur oleh KUHAP. Namun hakim juga harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan fakta-fakta dan bukti di dalam proses persidangan. Prinsip beyond reasonable doubt ini nantinya akan membuat majelis hakim tidak ragu dalam membuat putusan.

Pada akhirnya, apa yang terjadi pada perkara ini haruslah diserahkan kepada majelis hakim dengan menghormati prinsip res judicata pro veritate habetur dimana apa yang diputus majelis hakim haruslah dianggap benar. Publik harus percaya bahwa nantinya putusan dengan keyakinan dan kebijaksanaan majelis hakim ini adalah merupakan yang terbaik bagi pencari keadilan. Dan putusan tersebut adalah produk hukum yang harus dihormati oleh semua pihak.

Written by  Frans Hendra Winarta

Published on koran Seputar Indonesia 

 

 

 

<< Back

Close

Search