27Jan
Kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) menjadi salah satu tindak pidana yang sangat menarik perhatian publik. Terlebih lagi, tidak jarang KDRT menyangkut masalah public figure, mulai dari pejabat hingga selebriti. KDRT juga menjadi salah satu tindak pidana yang sangat dekat dengan masyarakat karena menyangkut hubungan dalam rumah tangga.
Setiap orang pada dasarnya memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan bebas dari penyiksaan sebagaimana ditur dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), yang berbunyi:
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945:[1]
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28G ayat (2) UUD 1945:[2]
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU No.23/2004”) menjadi suatu sarana guna melindungi setiap warga negara dari adanya ancaman tindak pidana KDRT. UU No.23/2004 menjadi sarana perlindungan hukum baik secara preventif maupun represif. Pasal 1 angka 1 UU No.23/2004 merumuskan definisi KDRT sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 UU No. 23/2004:[3]
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Subjek hukum yang termasuk ke dalam lingkup rumah tangga dalam UU No. 23/2004 diantaranya adalah:
Terdapat perbuatan-perbuatan kekerasan yang dilarang sebagai bentuk dari KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 5 s.d Pasal 9 UU No. 23/2004, diantaranya:
Letak persoalan dan perdebatan yang ada saat ini adalah mengenai apakah delik yang terdapat dalam UU No.23/2004 bersifat delik biasa atau delik aduan,Delik aduan merupakan suatu delik yang hanya dapat dituntut apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan.[4] Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“UU No.8/1981”) mendefinisikan pengaduan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 25 UU No.8/1981:[5]
“Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.”
Jadi, dapat diketahui bahwa suatu delik aduan hanya dapat diadukan oleh pihak yang berkepentingan atas suatu delik atau tindak pidana yang bersifat aduan. Oleh karena sifat dari aduan menyangkut kepentingan pihak yang membuat pengaduan, maka apabila pihak yang membuat pengaduan tersebut menarik kembali aduannya menyebabkan kewenangan penuntutan menjadi hapus.[6]
Berbeda dengan delik aduan, sedangkan delik biasa merupakan suatu delik atau tindak pidana yang tidak membutuhkan adanya suatu pengaduan terlebih dahulu, atau dengan kata lain apabila diketahui ada tindak kejahatan, maka dapat ditindak oleh pihak yang berwenang, atau bisa juga melalui adanya suatu mekanisme laporan yang disampaikan kepada pihak kepolisian untuk melakukan suatu tindakan hukum. Pasal 1 angka 24 UU No.8/1981 mendefinisikan laporan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 24 UU No.8/1981:[7]
“Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”
Pada delik biasa yang dilindungi bukan semata-mata kepentingan pribadi, melainkan kepentingan yang bersifat umum. Oleh karena itu, meskipun terdapat suatu laporan dan dicabut oleh pihak yang melapor suatu tindak pidana atau delik yang dilaporkan akan tetap diproses oleh pihak yang berwenang.[8].
Berkenaan dengan delik dalam UU No. 23/2004 diatur dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, mulai dari Pasal 44 s.d. Pasal 53. Delik yang diatur dalam Bab VIII UU No. 23/2004 sudah dibedakan dengan sangat jelas antara delik biasa dengan delik aduan. Delik aduan yang terdapat dalam UU No. 23/2004 tercermin dalam 3 (tiga) Pasal, yaitu sebagai berikut:
“Tindak pidana kekerangan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.”
Pasal 44 UU No. 23/2004 berbunyi sebagai berikut:[10]
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau dengan paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah.”
Pasal 52 UU No. 23/2004, yang berbunyi:[11]
“Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.”
Pasal 45 ayat (2) berbunyi sebagai berikut:[12]
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah).”
“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.”
Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:[14]
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau dengan paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Pasal 8 huruf a berbunyi sebagai berikut:[15]
“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa hanya terdapat tiga pasal yang berjenis delik aduan dalam UU No. 23/2004. Oleh karena itu, dapat diketahui di luar dari ketiga pasal yang merupakan delik aduan tersebut, maka dikategorikan sebagai delik biasa.
Untuk ketiga pasal yang termasuk ke dalam kategori delik aduan, maka berlakulah perlakuan sebagaimana mestinya terhadap delik aduan, yaitu proses pemidanaan hanya dapat dilakukan apabila adanya pengaduan dari pihak-pihak tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 KUHP, yaitu:[16]
Berkenaan dengan jangka waktu berapa lama pihak yang berkepentingan dapat mengajukan aduan kepada pihak kepolisian diatur dalam Pasal 74 KUHP, dimana pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan tersebut. Apabila pengaduan sudah diajukan, maka orang yang mengajukan pengaduan tersebut memiliki hak untuk menarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 75 KUHP. Akan tetapi, terdapat preseden baru berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1600 K/Pid/2009 terkait waktu pencabutan atau penarikan aduan, dimana sekalipun waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 75 KUHP telah terlampaui, maka pencabutan atas aduan tetap dapat dimungkinkan dengan memperhatikan adanya perdamaian antara pihak yang mengadukan dengan pihak yang diadukan. Mahkamah Agung berpegangan terhadap prinsip ajaran keadilan restorative, dengan anggapan bahwa penghentian perkara dapat lebih besar manfaat dan keadilannya dibandingkan harus terus melanjutkan proses perkara tersebut. [17]
Selanjutnya, apabila merujuk ke dalam Pasal 26 UU No. 23/2004,dapat diketahui adanya ketentuan mengenai mekanisme pelaporan apabila terjadi KDRT, yaitu sebagai berikut:[18]
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa delik KDRT sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2004 dapat dibedakan menjadi dua, yaitu delik biasa dan delik aduan. Delik aduan dalam UU No. 23/2004 diatur dalam ketentuan Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53 UU No. 23/2004. Maka dari itu, konsekuensi hukum yang terjadi adalah di luar dari ketiga pasal tersebut dikategorikan sebagai delik biasa. Terhadap ketiga pasal yang merupakan delik aduan, maka berlakulah ketentuan proses pemidanaan terhadap delik aduan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 KUHP, Pasal 74 KUHP, Pasal 75 KUHP, dan tata cara pelaporan apabila terjadi KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 23/2004, serta preseden waktu pencabutan aduan dengan memperhatikan prinsip keadilan restoratif sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009.
Daftar Pustaka
Buku
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, Makassar: Pustaka Pena Press, 2016.
Eddy O.S. Hiariej, Materi Pokok Hukum Pidana, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2016.
Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017.
Jurnal
Muhammad Yusuf Siregar, Et.Al, “Analisis Putusan Hakim Peradilan Pidana Terhadap Pencabutan Perkara Delik Aduan (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1600 K/PID/2009”, USU Law Journal, Volume II, No. 1, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Situs Web
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H., “Penghentian Proses Hukum Karena Korban Memaafkan Pelaku KDRT”, Hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/klinik/a/penghentian-proses-hukum-karena-korban-memaafkan-pelaku-kdrt-lt5d40fd05ed9e6, diakses pada tanggal 23 Januari 2023.
[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G ayat (1).
[2] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G ayat (2).
[3] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 angka 1.
[4] Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hlm. 108.
[5] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 25.
[6] Eddy O.S. Hiariej, Materi Pokok Hukum Pidana, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2016, hlm.10.7.
[7] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 24.
[8] Sudaryono dan Natangsa Surbakti, Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017, hlm.111.
[9] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 51.
[10] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 44 ayat (4).
[11] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 52.
[12] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 45 ayat (2).
[13] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 53.
[14] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 46.
[15] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 8 huruf a.
[16] Muhammad Yusuf Siregar, Et.Al, “Analisis Putusan Hakim Peradilan Pidana Terhadap Pencabutan Perkara Delik Aduan (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1600 K/PID/2009”, USU Law Journal, Volume II, No. 1, 2014, hlm. 192. Lihat juga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 72.
[17] Idem, hlm. 195. Lihat juga Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H., “Penghentian Proses Hukum Karena Korban Memaafkan Pelaku KDRT”, Hukumonline.com, https://www.hukumonline.com/klinik/a/penghentian-proses-hukum-karena-korban-memaafkan-pelaku-kdrt-lt5d40fd05ed9e6, diakses pada tanggal 23 Januari 2023.
[18] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 26.