News

17Feb

Kedudukan Keterangan Ahli dalam Hukum Acara Perdata Indonesia

keterangan, ahli, hukum

A. Definisi dan Syarat Menjadi Ahli

Ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu. Keterangan ahli adalah keterangan yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah nilai pengetahuan hakim tersebut. Seseorang baru dapat dikatakan sebagai ahli apabila:

  1. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis di bidang ilmu pengetahuan tertentu, sehingga orang itu benar-benar kompeten di bidang tersebut;
  2. Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan (training) atau hasil pengalaman; dan
  3. Sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, atau pengalaman yang dimilikinya, sehingga keterangan dan penjelasan yang diberikannya dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa (ordinary people).

Kecakapan seseorang untuk dapat dijadikan sebagai ahli dalam Hukum Acara Perdata diatur dalam Pasal 154 ayat (3) HIR, yang berbunyi:

 “Sebagai ahli tidak dapat diangkat orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi.” 

Oleh karena itu, tidak cakapnya seorang ahli sama dengan tidak cakapnya seorang saksi yang diatur dalam Pasal 145 HIR, yaitu:

  1. Tidak cakap absolut, yaitu keluarga sedarah dan semenda garis lurus, dan suami atau istri salah satu pihak; dan
  2. Tidak cakap relatif, yaitu anak-anak atau orang gila.

B.   Alasan Pemeriksaan Ahli

Alasan pokok pengangkatan ahli diatur dalam Pasal 154 ayat (1) HIR, yang berbunyi:

Jika menurut pendapat ketua pengadilan negeri, perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau penetapan ahli-ahli, maka karena jabatannya, atau atas permintaan pihak-pihak, ia dapat mengangkat ahli-ahli tersebut.” 

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut dapat dirumuskan alasan pemeriksaan ahli, yaitu:

  1. Masih terdapat hal-hal yang belum jelas dalam suatu perkara;
  2. Satu-satunya cara yang dianggap dapat memperjelasnya adalah berdasarkan keterangan ahli yang benar-benar kompeten memberikan opini atau pendapat berkenaan dengan kasus yang diperkarakan sesuai dengan spesialisasi yang dimilikinya.

 C.   Nilai Kekuatan, Fungsi, dan Kualitas Ahli terhadap Alat Bukti Lain

Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 184 HIR, ahli tidak tercakup sebagai salah satu alat bukti dalam Hukum Acara Perdata. Secara formil kedudukan ahli berada di luar alat bukti, oleh karena itu menurut hukum pembuktian tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian.

Berdasarkan Pasal 154 ayat (2) HIR dan Pasal 229 RV, pada intinya menerangkan sebagai berikut:

  1. Hakim tidak wajib mengikuti pendapat ahli, jika pendapat tersebut berlawanan dengan keyakinannya;
  2. Maka sebaliknya, hakim dapat mengikuti pendapat ahli, apabila pendapat itu tidak bertentangan dengan keyakinannya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk mengikuti atau tidak pendapat ahli yang disampaikan di muka persidangan. Apabila hakim mengikuti, maka hakim mengambil pendapat ahli tersebut menjadi pendapatnya sendiri, dan dijadikan sebagai bagian pertimbangan dalam putusan. Sebaliknya, apabila tidak mengikuti, pendapat tersebut disingkirkan dan dianggap tidak ada. 

Dari segi hukum pembuktian, maka pendapat ahli tidak dapat berdiri sendiri sebagai alai bukti, dan tempat kedudukannya hanya berfungsi menambah atau memperkuat dan memperjelas permasalahan hukum yang ada. Apabila sama sekali tidak ada alat bukti yang sah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR, maka pendapat ahli tidak dapat digunakan sebagai alat bukti tunggal, meskipun hakim meyakini kebenaran pendapat itu.

Terdapat kondisi dimana pendapat ahli dapat berfungsi dan berkualitas menambah kekuatan alat bukti yang sudah ada, yaitu:

  1. Apabila alat bukti yang ada sudah mencapai batas minimal pembuktian; dan
  2. Jika alat bukti sudah mencapai batas minimal dan nilai kekuatan pembuktian masih kurang kuat, maka dalam hal ini hakim dibolehkan untuk mengambil pendapat ahli untuk menambah nilai kekuatan pembuktian yang ada;

Pendapat ahli tidak mampu menambah batas minimal pembuktian, hal ini disebabkan yang hanya dapat memenuhi batas minimal pembuktian hanya alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata atau 164 HIR.

 

Sumber:

Buku

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Keempat, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Sudikno Mertukusomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Kelima, Yogyakarta: Cahaya Atma Pstaka, 2017.

Peraturan-Peraturan

Herzien Inlandsch Reglement.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

<< Back

Close

Search