News

14Dec

political, law, history, case, services, newspaper

[JAKARTA] Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR tak perlu memperpanjang pembahasan masalah etika pada kasus “Papa Minta Saham”, seperti yang dilaporkan lewat rekaman oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.

Pelanggaran etika oleh Setya Novanto sudah terang benderang dan konsekuensinya hanya satu, yakni pengunduran diri dari posisi sebagai ketua DPR. MKD harus segera memutuskan nasib Novanto agar tidak menguras terlalu banyak energi bangsa.

Pemanggilan Menko Pulhukam Luhut Binsar Pandjaitan dan pengusaha Muhammad Riza Chalid hari ini tak perlu diikuti oleh penjemputan paksa jika mereka berhalangan hadir. Jika ada indikasi pidana, MKD bisa segera melaporkan kepada aparat penegak hukum, Polri, atau Kejaksaan.

Demikian rangkuman pendapat peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, pakar hukum Frans Hendra Winarta, Ketua DPP PAN Teguh Juwarno, anggota DPR dari Fraksi PKB Danil Johan, dan anggota Fraksi Partai Gerindra Nizar Zahro yang dihimpun SP di Jakarta, Senin (14/12).

Siti Zuhro berpendapat, kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Riza Chalid harus segera berujung. Dia berharap MKD segera memutuskan dugaan pelanggaran etika Novanto.

“Kasus ini telah menyita perhatian kita dan telah menimbulkan kegaduhan di bangsa ini. Makanya, kasus ‘Papa Minta Saham’ harus segara diputuskan dan MKD harus memutuskannya secara independen dan berintegritas,” ujar Siti.

Dia menilai, kasus ini telah mengganggu kinerja pemerintah dan parlemen. Jika parlemen gaduh, maka pemerintah tidak dapat bekerja dengan baik. “Sistem pemerintahan kita memang presidensial, tetapi ada mekanisme checks and balances yang dilakukan DPR. Jadi, perlu ada komitmen bersama antara pemerintah dan DPR untuk saling mendukung dalam menjalankan program-program kesejahteraan rakyat,” katanya. 

Written by Frans Winarta
published on Suara Pembaruan 

<< Back

Close

Search