10Mar
Sudah 100 tahun yang lalu mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, menulis dalam bukunya yang kurang lebih berkata: “Bilamana seseorang memilih profesi advokat sejak semula sudah bertekad untuk tidak melakukan kejahatan atau menjadi bajingan. Dia harus “clear”, artinya harus betul-betul bersih untuk tidak melakukan perbuatan seperti menyuap, menyogok atau melanggar hukum apapun alasannya. Sebaiknya dari semula menjauhkan diri atas perbuatan melanggar hukum atau dia harus berprofesi lain agar tidak mencederai profesi advokat, pilihlah profesi lain. Ini peringatan yang sudah lama berlaku di negara-negara yang menganut sistem demokrasi sehingga integritas profesi advokat dan profesi hukum termasuk hakim dianggap tinggi dan terhormat.”
Untuk mengingat apa yang telah dikatakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, adalah sebagai berikut: “There is a vague popular belief that lawyers are necessarily dishonest. I say vague, because when we consider to what extent confidence and honors are reposed in and conferred upon lawyers by the people, it appears improbable that their impression of dishonesty is very distinct and vivid. Yet the impression is common, almost universal. Let no young man choosing the law for a calling for a moment yield to the popular belief---resolve to be honest at all events; and if in your own judgment you cannot be an honest lawyer, resolve to be honest without being a lawyer. Choose some other occupation, rather than one in the choosing of which you do, in advance, consent to be a knave.”
Sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, saya pernah menuliskan bahwa jual beli putusan sudah lama terjadi di Indonesia dengan melibatkan hakim dan advokat.
Selengkapnya sebagai berikut: “Maraknya praktik judicial corruption yang terjadi di Indonesia juga sudah lama menjadi keprihatinan di Indonesia. Menurut deklarasi International Bar Association (IBA) pada konferensi dua tahunan (17-22 September 2000) di Amsterdam, yang dikutip berdasarkan rekomendasi para pakar hukum Center for the Independence of Judges and Lawyers (CIJL), disimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa, advokat, dan hakim). Khususnya jika hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk keuntungan pribadi, sikap tunduk kepada campur tangan luar dalam memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, favoritisme atau pilih kasih, kompromi dengan pembela (advokat), pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka memperlambat proses pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik.”
Ternyata transaksi jual-beli putusan pada faktanya masih terjadi sampai saat ini. Transaksi ini berlaku seperti “business as usual” dan terjadi sehari-hari seolah-olah dianggap “biasa” dan bukan sesuatu yang dilarang oleh hukum. Sungguh menyedihkan hal tersebut terjadi, mengingat terjadinya pada negara yang didasarkan atas konsep negara hukum atau rechtsstaat dan bukan machtstaat. Sangat disayangkan dalam kondisi seperti sekarang ini, masih saja tidak bersedia memperbaiki diri.
Mengapa hal tersebut terjadi, karena ada yang salah dengan pendidikan hukum di Indonesia, perbedaan mencolok pendidikan hukum di negara-negara maju yang mengedepankan demokrasi adalah pendidikan hukum yang mengutamakan pendidikan sebagai lawyer/advokat, di mana advokat yang hebat dan berprestasi tinggi dan berintegritas dijadikan panutan sebagai hakim yang memimpin dan mengadili perkara di pengadilan-pengadilan.
Karena dasar yang begitu kuat sebagai advokat maka dipilihlah mereka menjadi hakim-hakim yang mumpuni dan berintegritas tinggi di mana kehidupan hakim-hakim ini patut dijadikan panutan. Bagaimana para hakim ini berperilaku dalam kehidupan sehari-hari dapat memberikan contoh untuk menjadi “role model” masyarakat pada umumnya. Jauh dari perbuatan tercela apalagi melakukan tindakan melanggar hukum dan etika. Mereka betul-betul menempati ranking tertinggi dalam jenis-jenis profesi yang bernuansa berintegritas tinggi.
Keadaan ini terbalik dengan keadaan di Indonesia. Para penegak hukum, advokat dan hakim termasuk panitera jauh menduduki ranking paling rendah dalam urutan profesi berintegritas. Tidak aneh dan tidak mengherankan bahwa ternyata gaji tinggi dan fasilitas tinggi atau mungkin kurang tinggi, tidak menghentikan mereka untuk menjadi rakus, tamak, dan jahat untuk melanggar hukum yang seyogianya harus mereka tegakkan.
Para sarjana hukum di Indonesia dibentuk untuk menjadi birokrat dan bukan untuk mandiri atau berprofesi bebas. Mereka dibentuk sedemikian rupa untuk tidak bebas menjadi birokrat dan bukan menjalani profesi bebas seperti advokat. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh advokat Van Der Laken: “Een domme advocaat, is een advocaat, een kwaaie advocaat, is een advocaat, een afhankelijk advocaat, is geen advocaat”.
Para mahasiswa pada fakultas hukum di Indonesia harus dididik untuk beracara dengan serius dan sungguh-sungguh sebelum mengikuti bar-examination yang terkenal keras dan disiplin. Sehingga seorang sarjana hukum yang lulus dengan status cumlaude pun bisa saja gagal dalam menempuh bar-examination.
Karenanya bar-examination hanya layak ditempuh oleh mereka betul-betul seorang praktisi hukum dan sangat mengerti bidangnya secara sempurna dan lengkap. Selain itu, sudah sangat teruji dalam praktik di Pengadilan bukan hanya karena prestasi akademis semata, tetapi betul-betul “practitioner”.
Untuk mereka yang mengambil jalur pendidikan sebagai sarjana hukum dan ingin menjadi advokat, hakim atau jaksa yang bertujuan hanya untuk sekadar mencari uang saja sebaiknya memilih profesi lain. Hal ini karena sebagai seorang advokat, hakim, atau jaksa dituntut wajib memiliki integritas tinggi.
Akhir kata, reformasi hukum ditunjukan terutama untuk menciptakan “Nation and Character Building” yang tangguh dan tidak korup, bersih dan berintegritas.
For more article click:
https://www.hukumonline.com/berita/a/jual-beli-putusan-pengadilan-sudah-lama-terjadi-lt6229aca25279d/
Written by Frans H. Winarta