12Jan
Kehadiran 2016 tidak hanya menandakan berakhirnya tahun kambing kayu yang penuh gonjang-ganjing, namun juga menandakan era baru dalam aktifitas perdagangan di kawasan ASEAN. Banyak pihak optimis bahwa kita akan mampu menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan gemilang sekalipun, tidak sedikit yang pesimistis dengan kesiapan Indonesia menghadapi tantangan zaman baru ini. Pertanyaan banyak pihak menjurus pada satu hal, benarkah kita siap dan mampu menghadapi MEA?
Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya penulis mengajak kita bercermin dari pengalaman dua orang rekan penulis yang tengah melakukan penelitian mengenai regulasi yang diperlukan apabila hendak meningkatkan jenis usaha dari usaha mikro menjadi usaha kecil, menengah, dan kemudian besar sesuai dengan yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM).
Tentunya, riset tersebut dilakukan di kementerian yang sangat terkait erat dengan usaha mikro, kecil, menengah. Namun apa lacur, pada saat mendatangani kementerian yang bersangkutan, dua rekan tersebut dihadapkan dengan birokrat yang bahkan tidak mengetahui departemen mana yang harus menangani pertanyaan kedua rekan penulis. Mereka bahkan di “ping-pong” dari lantai 3, lantai 4, bahkan hingga ke lantai 5 kementerian bersangkutan.
Alasannya pun beragam, mulai dari kementerian yang baru saja melakukan perubahan struktur sehingga personel yang bertanggung jawab berubah, hingga birokrat yang bersangkutan tengah melakukan rapat. Singkat kata, satu harian menunggu birokrat di kementerian untuk menjawab satu pertanyaan sederhana saja harus berakhir dengan tangan hampa.
Gambaran yang terjadi di salah satu Kementerian ini agaknya dapat menjawab pertanyaan kita di awal. Secara khusus hal ini menunjukkan ketiadaan visi pembangunan UMKM. Bagaimana peningkatan skala usaha harus ditopang dengan kesiapan birokrasi. Bahwa dalam kondisi perdagangan selama ini, tentunya ekonomi kita tidak bisa hanya bertumpu pada usaha mikro, kecil, dan menengah. UMKM seharusnya dipersiapkan sebagai bibit-bibit bagi tumbuhnya pengusaha besar yang dapat menyediakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia kelak.
Secara umum, dapat menjadi gambaran pula bagaimana kwalitas birokrasi Indonesia yang masih lebih sering menguji kesabaran masyarakat yang membutuhkan bantuannya. Padahal, di pundak birokrasi dan para birokrat terletak tanggung jawab besar atas kelangsungan roda pemerintahan dan tanggung jawab melayani rakyat. Hal ini seolah meneguhkan apa yang disampaikan oleh Yeremias Keban (2007) dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM bahwa pembangunan birokrasi di tanah air selama ini terabaikan.
Pembentukan unit baru, peleburan, pembubaran, dan banyak upaya reformasi birokrasi memang telah dilakukan sejak lama, namun penempatan pejabat yang mengabaikan prinsip the right man on the right place dan evaluasi hasil, manfaat, dan kegunaan sebuah program yang cenderung diabaikan menjadi salah satu penyebab (Keban, 2009 : 435). Hal ini pula yang tampal dari sikap reaktif yang ditunjukkan para pejabat tatkala Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengeluarkan rapor akuntabilitas kinerja kementerian yang ada.
Masih ada harapan
Dapat dilihat bahwa kendala bangsa kita dalam menghadapi MEA kelak akan lebih banyak berasal dari internal sendiri. Sebenarnya, kita sudah sangat terlambat untuk membenahi kwalitas birokrasi. Seharusnya, pembenahan ini sudah dilakukan sejak zaman reformasi 1998 silam dan sudah dipetik hasilnya saat ini. Pun demikian, sekalipun sudah terlambat bukan berarti kita menyerah dengan kondisi yang ada saat ini. Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan terhadap sistem birokrasi yang ada.
Pembenahan birokrasi bukan berarti bahwa masyarakat tidak memerlukan birokrasi. Birokrasi tetap dibutuhkan namun birokrasi yang berbelit-belit, korup, dan memandang diri sebagai tuan atas masyarakat, birokrasi seperti itulah yang harus dieliminir. Kuncinya ada pada kepemimpinan Presiden beserta jajarannya agar tidak hanya mengurusi persoalan case by case seperti pedagang kaki lima atau ojek on-line yang sangat mikro sifatnya. Namun, perlu menyentuh tataran kebijakan yang mampu mengeliminir kelemahan orang per orang dengan dibangunnya suatu sistem briokrasi yang kokoh.
Hal ini seperti bangunan formasi ketentaraan Romawi kuno yang terkenal di medan tempur. Bukan karena masing-masing tentara tidak punya kelemahan, namun karena kelemahan masing-masing tentara mampu ditutup dalam suatu formasi tempur yang disusun dengan rapi. Itu hanya gambaran sederhana bagaimana suatu sistem yang baik dapat menutupi banyak kelemahan. Hal yang sama dikemukakan oleh Peter Drucker bahwa, ‘the task of leadership is to create an alignment of strengths, so as to make people’s weaknesses irrelevant.”
Maka, semboyan kerja yang disampaikan Presiden harus cerdas ditanggapi oleh para bawahannya dan menerjemahkannya dalam pembenahan sistem secara tepat di bidang masing-masing. Di dalam pembangunan sistem ini terletak pembangunan budaya kerja, lingkungan birokrasi yang sehat, dan pengawasan. Di situlah letak revolusi mental yang sebenarnya, jika ia dapat dilembagakan dalam suatu sistem dan tidak sporadik hanya mengandalkan kesadaran orang per orang.
Pembenahan sistem harus melihat kebutuhan riil di masyarakat, bukan demi pelanggengan kekuasaan, atau motif ekonomi sempit penguasa. Motif ekonomi sempit ini adalah demi mengejar rente dan lebih didorong kepentingan pribadi atau kelompok dengan menafikan dampak yang negatif terhadap masyarakat. Pembangunan sistem juga tidak boleh naif, atau text book thinking.
Untuk dapat melakukan itu semua, diperlukan kekompakan elit politik yang ada untuk menyokong kinerja Presiden. Dibutuhkan jiwa kenegaraan dan kesadaran untuk menilai kesanggupan diri dalam mengemban amanah yang dipercayakan rakyat. Jika memang tidak sanggup harus legawa untuk meletakkan jabatan. Jika bukan bidangnya harus mampu menolak sekalipun ditawarkan kekuasaan. Elite politik yang mawas diri akan memudahkan pemulihan bangsa kita dari keterpurukan. Jika gonjang-ganjing politik, kisruh, dan drama-drama kekuasaan dapat dikurangi di tahun ini dan pemerintah serius membenahi reformasi, optimisme bahwa Indonesia mampu menghadapi MEA sebagai pemenang bukanlah omong kosong.
Written by Michael Herdi Hadylaya
Published on harian KONTAN