News

24Nov

Diperlukan Political Will Dalam Pengesahan RUU KUHP

laws, political, government

Sungguh panjang perjalanan Rancangan KUHP ("RUU KUHP") yang dicetuskan oleh Ali Said (Menteri Kehakiman) pada tahun 1981 hingga saat ini dimana pembahasan RUU KUHP saat ini baru mencapai tingkat panja di DPR. Kurang lebih sudah 34 tahun lamanya rancangan KUHP dirumuskan dan dibahas, namun belum juga tercapai kata sepakat untuk mengesahkan RUU KUHP tersebut.

Selama ini Indonesia belum memiliki aturan hukum pidana Indonesia sendiri, sehingga terpaksa masih menggunakan aturan KUHP Belanda yang disebut Wetboek van Straftrecht (WvS). Padahal WvS sendiri telah berusia berabad-abad karena merupakan warisan dari hukum pidana Perancis (Code Penal) yang dibuat pada tahun 1791. Hukum Pidana warisan kolonial Belanda ini tentunya sudah usang dan tidak selaras dengan perkembangan zaman, apalagi di abad-21 ini.

Pemerintah Indonesia harus segera mengesahkan RUU KUHP supaya negara ini memiliki sistem hukum pidana yang jelas dan tidak bergantung lagi kepada aturan hukum warisan kolonial Belanda. Memang tidak mudah mengakomodasi pembaruan rumusan hukum materiil apalagi lebih dari 750 pasal mengenai aturan pidana. Sehingga RUU KUHP harus benar-benar dirumuskan dengan berbagai macam pendekatan yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.

Hambatan selalu ada baik bersifat teknis ataupun substansial. Hal yang bersifat teknis seperti waktu dan biaya perumusan RUU KUHP, sedangkan hal yang bersifat substansial adalah keragaman rumusan delik-delik pidana yang harus diatur dalam sebuah undang-undang. Belum lagi ada penolakan dari masyarakat seperti penolakan terhadap wacana memasukkan kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary crime) ke dalam RUU KUHP. Banyak yang berpendapat hal tersebut bisa menghilangkan esensinya sebagai kejahatan luar biasa. Ada pula wacana penghilangan kewenangan dalam sistem hukum pidana. Kemudian adanya beberapa rumusan delik pidana yang dikhawatirkan over kriminalisasi karena banyak ancaman pidana yang mengatur perilaku masyarakat, seperti contohnya aturan mengenai haatzaai artiekelen, aturan mengenai zina, ilmu hitam, hukuman mati, dan yang lainnya.

Sedari dulu pro dan kontra hanya RUU KUHP berkutat pada permasalahan rumusan delik-delik tertentu yang menimbulkan perdebatan tidak berujung. Padahal ancaman nyata kejahatan di era sekarang sudah semakin berkembang dan bahkan mengandung teknologi tinggi yang tidak terkejar oleh kemampuan kita. Masyarakat mau tidak mau terfokuskan pada persoalan yang sama sementara kejahatan lain yang baru muncul dan mengancam masyarakat seperti kejahatan siber (cyber crime), pencucian uang, terorisme, banking fraud, pencemaran lingkungan hidup, human trafficking, drugs trafficking, kejahatan transnasional, serta korupsi yudisial.

Persoalan lain penegakan hukum di Indonesia adalah integritas dan profesionalisme penegak hukum selain legislasi yang masih terbelakang sementara kejahatan semakin meningkat secara kualitas dan kuantitas. Sistem hukum yang baik harus didukung dengan kualitas aparatur penegak hukum yang cemerlang. Mau secanggih apapun sistem hukum yang dibangun jika aparatur penegak hukumnya tidak berkualitas maka seluruh energi yang dikeluarkan menjadi sia-sia. Hal tersebut harus dipertimbangkan sambil merumuskan RUU KUHP saat ini.

Seorang hakim Agung Amerika Serikat, Justice Arthur T. Vanderbilt pernah menyatakan bahwa apabila masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap pekerjaan dari pengadilan, maka rasa hormat terhadap hukum dan ketertiban akan punah dengan sendirinya. Pada akhirnya hal tersebut membawa kemunduran besar dalam suatu masyarakat. Janganlah hal tersebut terjadi, di mana aparat penegak hukum di Indonesia menjadi tidak berarti di hadapan masyarakat. Aparat penegak hukum harus memiliki integritas dan wibawa sehingga masyarakat tidak memandang sebelah mata, dan menjadi masyarakat yang patuh terhadap hukum dan norma yang berlaku (law abiding citizen). Untuk itu, sistem hukum dan profesionalisme aparat penegak hukum di Indonesia harus saling melengkapi sehingga dapat mewujudkan negara hukum yang dicita-citakan para pendiri bangsa (founding fathers).

Abaikan Kepentingan GolonganSepertinya Indonesia belum ada kemauan politik yang tinggi untuk memiliki sistem hukum pidana sendiri yang dapat dibanggakan. Anggota DPR RI belum menyadari kebutuhan masyarakat dan kepentingannya memiliki KUHP baru. Yang terlihat oleh masyarakat adalah kepentingan golongan lebih diutamakan tanpa benar-benar menggodok RUU KUHP tersebut dengan mencurahkan seluruh kemampuan dan kebijakan (wisdom) demi penegakan hukum yang lebih baik ke depan.

Pro-kontra dimasukkan atau tidaknya delik-delik yang diatur dalam UU Khusus dalam RUU KUHP bukan persoalan besar asalkan pelaksana UU konsisten dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya. Tidak bersitegang antara satu lembaga penegak hukum dengan lembaga penegak hukum yang lain apalagi karena kepentingan politik kelompok tertentu. Namun jika akhirnya tindak pidana khusus mau dikeluarkan dari KUHP juga harus konsekuen. Cara penanganan kejahatan khusus harus berbeda dan tidak bercampur dengan penanganan pidana umum agar tidak tumpang tindih. Kalau bicara mengenai korupsi maka polisi dan jaksa tentunya harus rela dibagi kekuasaannya. Semua itu tergantung kepada niat dari seluruh pihak demi penegakan hukum yang stabil. Apalagi mengingat tujuan pemidanaan adalah mencapai ketertiban dan memberikan keadilan kepada masyarakat.

Harus dipahami ungkapan "het recht hink achter de feiten aan", yang berarti hukum selalu tertinggal dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat. Ada baiknya jika kita fokus terhadap pembaruan sistem hukum pidana untuk menuju kepada cita-cita negara hukum yang sejahtera. Penegakan hukum tanpa pandang bulu mutlak dilakukan demi mengatasi kejahatan yang telah ada serta mengantisipasi timbulnya kejahatan baru yang terjadi dalam masyarakat.

Written by Frans Winarta.

 

<< Back

Close

Search