News

09Sep

Cuti Petahana: Untuk Kepentingan Siapa?

political, government, social

Hampir dua puluh tahun reformasi bergulir, kehidupan demokrasi di Indonesia selalu mengalami pasang dan surut. Euforia demokrasi di negara ini di satu sisi menghadirkan kebijakan-kebijakan yang lebih dekat dengan rakyat melalui sistem otonomi daerah namun sekaligus menghadirkan kasus-kasus memilukan soal korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat kekuasaan besar yang dimilikinya dan juga kasus penyalahgunaan kekuasaan lainnya.

Sudah menjadi adagium umum dari Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup dan semakin absolut kekuasaan yang dimiliki maka semakin mutlaklah potensi korup yang timbul. Dengan demikian, kekuasaan perlu dibatasi agar tidak disalahgunakan oleh pemegangnya. Hal ini berlaku tidak hanya dalam tata kelola pemerintahan, tetapi juga dalam menyoal pemilihan kepala daerah yang diikuti oleh calon petahana (incumbent).

Salah satu cara untuk mengekang penyalahgunaan kekuasaan tersebut adalah dengan adanya aturan cuti petahana. Pasal 70 UU No. 10/2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota mewajibkan petahana yang mengikuti pemilihan kepala daerah untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara selama kampanye. Ketentuan ini sedikit lebih ringan dari amanat UU No. 12/2008 tentang pemerintahan daerah yang bahkan mewajibkan calon petahana untuk mundur dari masa jabatannya.

Alasan UU No. 10/2016 pun sebenarnya baik, untuk menghindarkan calon petahana dari potensi penyalahgunaan kekuasaan selama masa kampanye berlangsung. Apalagi, tidak sedikit kasus yang terjadi dimana calon petahana mengerahkan PNS dan menyelewengkan anggaran dan fasilitas demi memenangkan pemilihan kepala daerah. Maka, dengan adanya kewajiban untuk cuti selama masa kampanye tidak hanya bermanfaat bagi jaminan terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang jujur dan adil, tetapi juga bagi kelangsungan demokrasi yang sehat.

Apabila calon petahana tidak cuti selama masa kampanye, dapat dibayangkan berapa besar potensi penyelewengan yang mungkin timbul. Apalagi, misalnya, jika lawan yang dihadapinya entah sebagai sesama calon kepala daerah atau wakil kepala daerah adalah bawahannya yang masih duduk dalam jajaran pemerintahan daerah. Rivalitas yang hadir bisa menjadi tidak sehat, bisa terjadi pergeseran jabatan rival, penggantian posisi, atau bahkan mutasi dan demosi bagi rival yang sama-sama mengikuti pemilihan kepala daerah. Dengan adanya kewajiban cuti, hal ini dapat dihindari.

Bukan Hak Petahana

Melihat UU No. 10/2016, maka cuti dalam masa kampanye bukanlah hak yang diberikan kepada calon petahana melainkan justru adalah suatu kewajiban. Bahwa salah satu tahapan pemilihan kepala daerah yang tidak dapat tidak harus ada adalah pelaksanaan kampanye. Kampanye sendiri merupakan salah satu bentuk pendidikan politik kepada rakyat berdasarkan Pasal 63 UU No. 11/2016. Artinya, jika ada calon kepala daerah yang tidak mengikuti kampanye, sama saja dengan tidak berpartisipasi dalam pendidikan politik bagi rakyat.

Mengingat kampanye merupakan sebuah kewajiban, maka aturan mengenai cuti bagi calon petahana tidak bisa tidak, juga merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh petahana sebagai konsekuensi mengikuti kampanye. Kita perlu mengingat bahwa kehadiran kewajiban cuti bagi petahana bukanlah demi alasan mengganjal satu atau dua orang tertentu saja. Namun ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas lagi, yaitu demi pembangunan demokrasi yang sehat.

Aturan hukum tidak boleh dibuat dan dilaksanakan hanya karena rasa suka orang per orang yang mengikutinya. Menurut A.V. Dicey, kedudukan yang sama di dalam hukum merupakan salah satu pilar demokrasi yang didasarkan pada konsep rule of law. Jika dalam pelaksanaan demokrasi, kita telah abai dalam meletakkan equality before the law, maka proses demokrasi apa yang kita harapkan akan terjadi? Dan, pemimpin seperti apa yang akan kita dapatkan dengan proses demokrasi yang cacat seperti itu?

Oleh karena itu, soal cuti petahana sudah bukan lagi isu yang harus diperdebatkan untuk pembangunan demokrasi Indonesia ke depan. Tidak ada pilihan bagi calon petahana untuk tidak mengambil cuti. Apalagi, belajar dari putusan Mahkamah Konstitusi yang cukup bijak untuk memberikan kewajiban cuti bagi calon petahana, kini saatnya konsistensi Mahkamah Konstitusi diuji.

Apapun pilihan yang diambil, akan ada sisi baik dan buruknya. Seperti kata Mencius, “Evil exists to glorify the good. Evil is negative good. It is a relative term. Evil can be transmuted into good. What is evil to one at one time, becomes good at another time to somebody else.” Bisa saja, jika aturan cuti petahana ini dianulir akan berdampak baik bagi satu atau dua orang saat ini namun tidak ada jaminan hal itu akan membawa akibat positif bagi keseluruhan bangsa ini di masa mendatang.

Maka, jika aturan cuti petahana dalam UU No. 10/2016 berhasil dianulir, hal ini hanya bagaikan membuka kotak Pandora. Sangat tidak terbayangkan potensi penyimpangan yang nantinya timbul apabila kewajiban cuti ini harus tunduk karena kepentingan satu atau dua orang saja. Yang harus dicari selain kepastian hukum adalah kemanfaatan bagi bangsa Indonesia. Sudah menjadi kebijaksanaan nenek moyang bangsa Indonesiabahwa kepentingan pribadi harus mengalah bagi kepentingan umum. Kepentingan yang lebih kecil harus tunduk pada kepentingan yang lebih besar. Dan, menurut teori utilitarianisme yang dipelopori Jeremy Bentham, prinsipnya adalah the utmost good, for the utmost number of people.

Sekarang, pertanyaannya ada pada Mahkamah Konstitusi, kepentingan siapakah yang lebih besar? Kepentingan satu atau dua orang calon petahana yang hendak absen masa kampanye dan menolak cuti atau kepentingan rakyatIndonesiayang jumlahnya ratusan juta ini?

Written by  Frans Hendra Winarta

Published on koran Seputar Indonesia 

<< Back

Close

Search