12Dec
Mama minta pulsa pernah menjadi tren di dalam masyarakat Indonesia sebagai salah satu bentuk penipuan melalui pesan pendek yang mengatasnamakan ibu atau bahkan kerabat lain untuk meminta sejumlah pulsa. Pencatutan nama orang dekat ini mendorong korban untuk tertipu bujuk rayu. Kini, kasus pencatutan nama sejumlah pejabat yang diduga dilakukan oleh Ketua DPR RI justru memplesetkan “mama minta pulsa” menjadi “papa minta saham”.
Hal ini justru terjadi ditengah nuansa rakyat yang telah jengah dan ingin memberantas korupsi. Jeremy Pope (2002) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak. Artinya, korupsi terjadi karena seseorang biasanya lalai dalam wacana mempertahankan jarak. Kasus pertemuan antara Ketua DPR untuk membicarakan perpanjangan kontrak dapat dilihat sebagai sebuah kegagalan pejabat publik yang memiliki kekuasaan untuk menjaga jarak. Apalagi, adanya timbul dugaan-dugaan pencatutan nama Menteri, Wakil Presiden, bahkan Presiden untuk mendapatkan keuntungan yang sebetulnya tidak pantas dilakukan. Jarak antara kekuasaan, penguasa, dengan orang yang bergantung dengan kekuasaannya seharusnya tidak berujung pada keuntungan pribadi si empunya kuasa.
Seharusnya tertutup
Agaknya apa yang dituduhkan telah dilakukan oleh Ketua DPR RI tersebut memang patut untuk dipersoalkan secara etis. Kata etika berasal dari Bahasa Yunani, ethos yang bisa diartikan sebagai sebuah perenungan sistematis tentang segala hal yang menyangkut moral. Dalam definisi ini, moralitas merupakan kumpulan pendapat, keputusan, dan tindakan yang melaluinya manusia mengekspresikan apa yang dipandangnya sebagai baik dan benar. Terkait hal ini, etika dapat dibagi menjadi dua yaitu descriptive ethics yang membahas soal benar dan salah, serta normative ethics yang melihat dalam tataran baik dan benar. Maka, sebuah perbuatan bisa saja benar namun tidak baik, tidak benar sekaligus tidak baik, benar dan juga baik, serta tidak benar namun baik. Empat kategori ini muncul dalam membahas soal etika.
Maka, mempersoalkan apa yang dilakukan oleh Ketua DPR RI tersebut dari sisi etis, persoalannya sederhana namun tidak sederhana, sebuah antinomi dari apa yang terjadi. Di satu sisi sederhana karena Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) hanya perlu mencari apakah yang dilakukan ketua DPR RI tersebut benar dan baik dalam kapasitasnya selaku seorang pimpinan lembaga tinggi negara. Namun, hal ini pula lah yang sekaligus menjadi tidak sederhana karena definisi benar dan baik seperti apa yang ingin dijumpai oleh Mahkamah yang seharusnya mulia itu sangat luas tafsirannya. Apalagi, ketika dibawa ke gedung DPR, benar dan baik itu menjadi sangat politis sifatnya
Menyikapi kenyataan ini, adalah hak dari Ketua DPR RI untuk menyikapi aduan di MKD ini. Namun tentunya, MKD harus memperhatikan ketentuan yang ada. Dalam hal ini ketentuan Pasal 129 UU No. 17/2014 mewajibkan MKD untuk merahasiakan materi aduan dan proses verifikasi sampai dengan perkara diputus. Bahkan, Pasal 132 UU No. 17/2014 mengatur bahwa sidang MKD bersifat tertutup dan MKD wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam sidang tersebut.
Ironi, apa yang dilakukan oleh MKD selama ini yang justru dipuji masyarakat yaitu menyelenggarakan sidang secara terbuka justru melanggar hukum dan sidang pemeriksaan Ketua DPR yang dicela karena tertutup justru itulah yang benar menurut hukum. Persidangan MKD yang salah kaprah ini justru menunjukkan bahwa pihak yang membuat aturan ternyata tidak memahami dengan benar aturan yang dihasilkannya, bahkan yang mengatur tentang dirinya sendiri. Lebih parahnya lagi, dalam pemeriksaan terlihat bagaimana rendahnya kemampuan anggota DPR dalam mengartikulasikan pertanyaan yang justru menunjukkan betapa parahnya kualitas anggota DPR yang duduk di Senayan. Ditengah kondisi rakyat yang membutuhkan hukum yang baik, justru kualitas dan kapabilitas dari pembuat hukum sangat memprihatinkan.
Sekalipun Ketua DPR RI memang layak untuk diperiksa atas aduan pelanggaran kode etik namun bukan berarti terhadap dirinya bisa diperlakukan semena-mena. Ada aturan dan formalitas yang harus dipatuhi baik yang diperiksa maupun yang memeriksa. Jika hal ini tidak dilakukan, jangan-jangan pihak yang tadinya menyelenggarakan sidang etik harus diperiksa karena melanggar pula. Sungguh negeri kita memang penuh ironi.
Ranah Hukum
Lantas, jika sidang etik itu harusnya tertutup apakah peluang rakyat untuk mendapat keadilan menjadi pupus? Tentu tidak. Apabila dari awal perkara ini alih-alih dibawa ke ranah etik justru dibawa ke ranah hukum, kita tidak akan mengalami benturan dengan UU No. 17/2014. Hasrat keadilan dan kebenaran yang sudah sampai diubun-ubun rakyat Indonesia dapat disalurkan apabila sejak awal skandal ini dibawa ke ranah hukum yang memang menyediakan persidangan yang terbuka untuk umum.
Kalau diduga melakukan pemerasan atau penipuan yang diancam dengan KUHP, pemerintah bisa mengadukan ke pihak kepolisian. Atau jika tuduhan yang dialamatkan kepada Ketua DPR RI lebih serius yakni soal korupsi, maka bisa dibawa ke Kejaksaan Agung ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Intinya, jalur hukum bukannya tidak menyediakan jalan untuk menyelesaikan persoalan.
Seharusnya, apabila pemerintah memang konsisten dengan niat untuk membersihkan pemburu rente yang ada, tidak perlu bertele-tele dan menyuguhkan drama kepada rakyat dengan mengadu ke DPR. Membawa kasus ini ke ranah etik tidak hanya jauh panggang dari api tapi juga mengerdilkan persoalan yang serius. Dalam soal ini, kita tidak butuh drama yang dihadirkan dalam persidangan MKD namun lebih butuh kecepatan dan kepastian hukum. Proses yang berlarut-larut hanya akan merugikan semua pihak.
Kita menginginkan Negara yang bersih dari korupsi. Negara yang bebas dari persekongkolan dan permufakatan yang bertujuan hanya demi keuntungan diri sendiri ataupun kelompok. Kita mencita-citakan Indonesia yang bersih. Namun, cara-cara yang ditempuh para pemimpin negeri ini justru terkesan jauh dari cita-cita itu. Agaknya benar, yang perlu direvolusi mentalnya bukan rakyat negeri ini tapi pemimpinnya yang tak tahu malu berbuat angkara.
Written by Michael Herdi Hadylaya
Published on harian KONTAN