News

01Jul

Bagaimana Keabsahan Pembayaran Upah yang Dilakukan oleh Direksi dan Menandatangani Slip Gaji Karyawan, Meskipun Masa Jabatannya sebagai Direksi Telah Habis?

direksi, karyawan, rups

Kewajiban Pengusaha untuk membayarkan upah dan memberikan bukti pembayaran upah atau slip gaji sebenarnya secara jelas telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”). Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi sebagai berikut:

 “(1) Upah wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan.

 “(2) Pengusaha wajib memberikan bukti pembayaran Upah yang memuat rincian Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh pada saat Upah dibayarkan.

Dalam banyak praktik, seringkali Pengusaha merupakan pemegang saham yang merangkap sebagai Direksi dari sebuah perseroan, artinya perseroan dalam melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) dilakukan oleh orang yang sama namun dengan jabatan dan tanggung jawab yang berbeda dalam sebuah perseroan. 

Lebih lanjut, teori Alter Ego yang dikemukakan oleh Walkovsky terkait dengan hubungan hukum yang timbul apabila anggota Direksi yang juga berstatus sebagai Pemilik perseroan, dikatakan menimbulkan hubungan hukum yang bersifat pemberian kuasa, dimana perseroan sebagai pemberi kuasa dan anggota Direksi tersebut melakukan pengurusan terhadap perseroan adalah sebagai pemegang kuasa yang bertindak untuk dan atas nama perseroan dan bukan atas nama pribadi[1]

Ronal Coase dalam bukunya yang berjudul The Nature of the Firm menggambarkan hubungan yang ada dalam suatu perseroan sebagai suatu fiksi hukum, dimana hubungan kontraktual yang timbul sangat kompleks karena sejumlah orang-perorangan tertentu melakukan hubungan hukum dengan perseroan memiliki maksud dan tujuannya sendiri dan/atau melakukan berbagai transaksi yang dibuatnya dengan perseroan, namun semuanya dilakukan untuk dan bagi kepentingan perseroan[2]

Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa setiap pihak dalam hal ini anggota Direksi yang juga sebagai Pemilik Perusahaan tersebut diasumsikan memiliki hubungan hukum yang merupakan default rule semata-mata atau diambil asumsi bahwa hubungan hukum ada dalam perseroan adalah hubungan hukum keperdataan yang lahir dari perjanjian semata-mata[3]

Berdasarkan penjelasan di atas, dalam melakukan pengurusan perseroan, apabila seorang Pengusaha juga merupakan sebagai Direksi dan pemegang saham (pemilik perusahaan) dari sebuah perseroan, maka Direksi tersebut wajib untuk membayarkan upah kepada Pekerja/Buruh yang bekerja pada perseroannya yang biasanya dilakukan bersamaan dengan memberikan bukti pembayaran upah atau slip gaji. Hal ini mengingat kedudukan Direksi yang merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar[4]

Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana bila masa jabatan anggota Direksi telah habis namun tetap menjalankan kepengurusan perseroan seperti melakukan pembayaran upah dan menandatangani slip gaji karyawan?

Perlu dipahami bahwa masa jabatan Anggota Direksi hanya diatur untuk suatu masa tertentu dan pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui RUPS. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 94 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana terakhir diubah oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU PT”), dimana Anggota Direksi diangkat untuk suatu jangka waktu tertentu melalui RUPS, sebagai dikutip berikut: 

(1) Anggota Direksi diangkat oleh RUPS;

(2)  Untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b;

(3) Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali;

(4) Anggaran dasar mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi dan dapat juga mengatur tentang tata cara pencalonan anggota Direksi;

(5)  Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian dan pemberhentian anggota Direksi juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut.” 

Berdasarkan hal tersebut di atas, tidak diatur secara jelas jangka waktu tertentu masa jabatan seorang Direksi dalam suatu perseroan, namun pada umumnya Direksi diangkat untuk jangka waktu 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun atau suatu waktu tertentu sesuai dengan yang ditentukan di dalam Anggaran Dasar perseroan tersebut. Apabila masa jabatan anggota Direksi telah habis maka mengacu pada Penjelasan Pasal 94 ayat (3) UU PT menyatakan bahwa anggota Direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS. 

Dalam hal anggota Direksi telah habis masa jabatannya dan tidak dilakukan RUPS untuk pengangkatan dan pemilihan anggota Direksi yang baru, anggota Direksi yang telah habis masa jabatannya dapat secara sukarela disertai dengan iktikad tetap menjalankan fungsinya sebagai Direksi agar supaya perseroan tetap berjalan sampai diangkat Direksi perseroan yang baru melalui RUPS. Hal ini dikenal dengan doktrin zaakwaarneming yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata. Adapun bunyi Pasal 1354 KUHPerdata adalah sebagai berikut: 

“Jika seseorang dengan sukarela tanpa ditugaskan, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa setahu orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang ia wakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.” 

Merujuk pada konsep zaakwaarneming dalam Pasal 1354 KUHPerdata tersebut, pihak yang mewakili berhak untuk menentukan urusan apa yang akan diwakilinya secara sukarela tersebut. Misalnya apabila seseorang memotong rumput pada halaman rumah terlantar, maka seseorang tersebut hanya berkewajiban memotong rumput tersebut tanpa berkewajiban untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan rumah terlantar tersebut. Hal ini dikarenakan seseorang tersebut hanya sukarela memotong rumput namun tidak sukarela untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan rumah terlantar tersebut. Begitu pula dengan pengurusan perseroan yang dilakukan oleh Direksi yang telah habis masa jabatannya, Direksi tersebut berhak untuk menentukan urusan apa yang diwakilinya secara sukarela.   

Penerapan doktrin zaakwaarneming terhadap Direksi yang telah habis masa jabatannya dan secara sukarela masih melakukan pengurusan perseroan tidak bisa dianggap atau dipersamakan sebagai Direksi perseroan yang masih menjabat, sehingga terhadap Direksi yang telah habis masa jabatannya tersebut tidak dapat dilekatkan kewajiban hukum atau tanggung jawab pengurusan perseroan layaknya Direksi Perseroan yang masih aktif. Direksi yang telah habis masa jabatannya tersebut dianggap zaakwaarnemer dan perseroan tersebut disebut sebagai belanghebbende atau orang yang memiliki kepentingan. Adanya unsur perwakilan yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya perintah dari orang yang diwakili, sehingga dapat dilakukan dengan maupun tanpa sepengetahuan yang diwakili. 

Sejalan dengan doktrin zaakwaarneming tersebut, apabila Direksi yang telah habis masa jabatannya tersebut masih membayar upah atau gaji dan memberikan bukti pembayaran upah atau slip gaji kepada karyawan, dapat dikatakan tindakan tersebut semata-mata dilakukan karena adanya iktikad baik dari Direksi yang telah habis masa jabatannya tersebut untuk menaati apa yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Merujuk pada konsep ekonomi terkait going concern dalam suatu Perseroan Terbatas yang secara normatif jabatan Direksi tersebut telah berakhir, namun fungsi perseroan tetap berjalan dan fungsi Direksi tersebut tetap berjalan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pihak ketiga dalam hal ini karyawan, apabila tidak dilakukan maka perusahaan akan tutup. 

Maka terhadap perseroan yang masa jabatan Direksinya telah habis dan anggota Direksi tersebut juga merupakan pemegang saham (pemilik perusahaan), tindakan Direksi yang telah habis masa jabatannya tersebut sebatas merupakan iktikad baik untuk melakukan tindakan secara sukarela agar perseroan tetap berjalan. Namun perlu menjadi catatan bahwa tindakan zaakwarneming yang dilakukan oleh Direksi yang telah habis masa jabatannya tidak dapat dilaksanakan berlarut-larut, perlu adanya RUPS untuk mengangkat Direksi perseroan yang baru agar fungsi perseroan dan fungsi Direksi dalam melaksanakan kegiatan perseroan dapat berjalan dengan baik guna mencapai tujuan dari perseroan serta menghindari adanya konflik dari berbagai pihak lain yang berkepentingan.


[1] Widjaja Gunawan, Risiko Hukum Pemililk, Direksi & Komisaris PT, Jakarta: Forum Sahabat, 2008, hlm. 23

[2] Ibid, hlm. 24

[3] Ibid, hlm. 24

[4] Pasal 1 Angka 5 UU PT.

 

Written by I Gusti Putu Gandhi N., S.H. dan Jeniffer Queenstanti T, S.H.

<< Back

Close

Search