News

08Jun

Apakah Profesi Mulia ini Dapat Dinamakan sebagai Officium Nobile?

officiumnobile, advokat

Apakah masih berlaku atau pantas label itu digunakan sebagai label dari yang dinamakan sebagai “profesi yang mulia” ini? atau istilah kerennya adalah “officium nobile” terhadap advokat sebagai profesi yang mulia ini? masih pantaskah profesi yang sejatinya harus membela seseorang tidak peduli akan latar belakangnya dari etnis mana, warna kulit mana, latar belakang sosial ekonomi yang berlainan, asal usul kelompok sosialnya, idelogi politiknya dari mana atau seringkali dibilang sebagai “equality before the law” atau “persamaan dihadapan hukum” sebagai prinsip dari pembelaan seorang advokat yang tidak peduli akan asal usul atau latar belakang sosialnya dan statusnya darimana. Tidak memperdulikan latar belakang klien yang dibelanya atau berpegang pada prinsip kemanusiaan, hal – hal ini yang harus menjadi pegangan profesi advokat. Karena itulah profesi yang dianggap mulia ini dinamakan “officium nobile”.

 Pada kenyataan dalam kehidupan sehari-hari apakah masih bisa disebut sebagai profesi yang mulia? Dalam acara Meeting of Mind :  Advokat Indonesia Menyambut Masa Depan yang diadakan oleh PERADI dengan tema Bagaimana Pengawasan Advokat Sebagai Officium Nobile, para pembicara bersilang pendapat tentang penamaan “officium nobile” itu. Ada yang berpendapat masih layak dan ada yang berpendapat tidak layak lagi label tersebut diterapkan terhadap profesi advokat yang sudah dianggap menjadi suatu profesi yang manipulative dan komersil. Dalam hal ini, menurut Penulis yang paling penting adalah apakah penamaan istilah “officium nobile” terhadap profesi Advokat itu merupakan sesuatu yang seharusnya terjadi atau ”ought to be” dan bukan sesuatu yang diharapkan, atau “Das Sein” bukan “Das Sollen” lagi.

Mengenai ini penulis akan menggambarkan tentang bagaimana kenyataan didalam masyarakat, apakah profesi advokat sudah dapat dikatakan menyimpang dari profesi yang dianggap mulia ini atau tidak? Sebagai contoh penggambaran, apakah masih ada yang dinamakan solidaritas profesi advokat, kalau yang dilakukan oleh para Advokat saat ini dalam kenyataannya adalah saling menyerang dan bahkan beberapa Advokat bersaing secara tidak sehat dalam mendapatkan klien. Maka sulit bagi Penulis untuk mengatakan mereka sebagai rekan sejawat saling menghormati atau menerapkan apa yang dianjurkan dalam Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (“UU No. 18/2003”) dan merujuk kepada etika profesi advokat.

Belum lagi perilaku-perilaku lain yang menyebabkan penamaan profesi yang mulia ini merosot karena tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh para Advokat itu sendiri. Beberapa Advokat malah seringkali tidak menghormati hukum dan pengadilan itu sendiri seperti “Contempt of Court” dan lain-lain. Sulit sekali sekarang membedakan “officium nobile” dalam kenyataan dan apa yang seharusnya atau “ought to be” menjadi kenyataan. Etika Profesi sudah tidak mendapatkan pengawasan diterapkan sehari-hari oleh organisasi advokat yang memang bertanggung jawab atas penegakan etika profesi advokat.

Bukankah Tugas dan fungsi sosial yang mulia dari seorang Advokat untuk menegakkan “Rule of Law” sebagaimana dikuti dari Deklarasi Montreal dibawah ini :

 “It shall be the responsibility of lawyers to educate members of the public about the principles of the rule of law, the importance of the independence of the judiciary and of the legal profession and to inform them about their rights and duties and the relevant and available remedies.

Menurut terjemahan dalam bahasa Indonesia dinyatakan sebagai:

“Adalah tanggung jawab pengacara untuk mendidik anggota masyarakat tentang prinsip-prinsip supremasi hukum, pentingnya independensi peradilan dan profesi hukum dan untuk memberi tahu mereka tentang hak dan kewajiban mereka dan upaya hukum yang relevan dan tersedia.”

Atau menurut mantan Ketua Mahkamah Agung R.I. Seno Adji menurutnya pengawasan etika profesi advokat itu dilakukan oleh para advokat sendiri sebagai “Zelf Oplegging” atau “Self Imposed” :

“Seorang Advokat tidak diperkenankan memiliki Obstructing justice yang merupakan suatu perbuatan yang ditujukan terhadap, ataupun yang mempunyai efek memutarbalikkan, mengacaukan fungsi normal dan kelancaran suatu proses yudisial. Karena Obstruction of justice, apabila dilihat sebagai suatu perbuatan adalah sebagai pengurangan kebaikan, fairness, ataupun efisiensi dari suatu proses. maka peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam   melaksanakan  profesinya  yang  dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa substansi Kode Etik Advokat Indonesia adalah kewajiban-kewajiban yang para advokat bebankan pada dirinya sendiri suatu selbstbindung, zelfoplegging, self imposed, yaitu suatu kewajiban pada dirinya sendiri.”

Seharusnya para advokat ini sejak semula jangan memilih profesi hukum ini kalau sejak semula tidak dapat menjadi advokat dan sebaiknya memilih profesi lain :

“If in your own judgment you cannot be an honest lawyer, resolve to be honest without being a lawyer. Choose some other occupation, rather than one in the choosing of which you do, in advance, consent to be a knave.”  (The Collected Works of Abraham Lincoln-1953).

Karakter yang didambakan Abraham Lincoln tentang watak yang harus dimiliki advokat adalah: kejujuran. Kalau watak calon advokat itu tidak jujur, sebaiknya ia melupakan cita-citanya untuk menjadi advokat dan lebih baik menekuni profesi lain yang tidak mensyaratkan kejujuran sebagai yang utama dalam karirnya.

Masalahnya saat ini, problem terbesar yang dihadapi oleh profesi advokat adalah ketidakjujuran itu sendiri. Sehingga diperlukan integritas dan moralitas dari para peserta sebagai para Advokat untuk menjadi seorang advokat yang independen dalam arti bebas dari campur tangan pihak-pihak lain. Adanya independensi sangat penting karena mendorong advokat menjalankan tugasnya tanpa sikap ragu-ragu dalam membela semua kepentingan kliennya. sehingga diharapkan anda sekalian dapat menjadi advokat yang menjunjung tinggi moralitas dalam menjalankan profesinya sebagaimana kedudukan profesi advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).

Perilaku para pengemban profesi hukum (advokat) seharusnya selalu konsisten dan memperhatikan nilai-nilai moralitas umum (common morality as the minimum morality) yang menjadi faktor penentu apakah profesi hukum dapat senantiasa mempertahankan citranya sebagai profesi terhormat. Mengingat pada kenyataannya para Advokat dalam menjalankan profesinya terkadang melupakan untuk bersikap mempertahankan keadilan dan kebenaran yang dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia sesuai yang tertera dalam Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia. 

For more article, please click: https://www.hukumonline.com/berita/a/apakah-profesi-mulia-ini-dapat-dinamakan-sebagai-officium-nobile-lt62a01794856d2/

written by Frans H. Winarta

Published on Hukumonline.com


<< Back

Close

Search